Sunday, November 8, 2009

Triger untuk sebuah Kebaikan

Sudah merupakan hal yang lazim untuk seorang manusia menghambakan kehidupannya hanya untuk beribadah, karena hal itu jelas instruksi langsung yang Alloh turunkan dalam Alquran. Dan beruntunglah bagi seorang muslim karena setiap aktifitas yang dilakukannya bisa bernilai ibadah kepada Alloh SWT. Asalkan dia memenuhi syaratnya, dan syaratnya pun cukup sederhana, yaitu dengan mengawali semua aktifitas yang akan dia lakukan disertai dengan niat beribadah kepada Alloh, maka insya alloh aktifitasnya walaupun aktifitas sosial sekalipun akan tetap bernilai ibadah.

Tapi, suatu keunikan pula pada diri seorang manusia. yaitu didalam dirinya terkadang dihinggapi oleh oleh suatu perasaan yang sebetulnya bukan hal baik baginya, perasaan yang dapat menunda-nunda suatu aktifitas yang biasa disebut dengan rasa malas. Perasaan ini dapat berdampak luar biasa baginya. Kehidupannya bisa semberawut hanya karena menuruti rasa malas. Terkadang kita merasa berat untuk memulai suatu aktifitas akibat menuruti rasa malas ini, padahal sebenarnya itu baik bagi kita. sampai-sampai aktifitas itu tidak dilaksanakan.

Kalau saja kita tahu dan faham tentang nilai dari aktifitas tersebut maka keberanian untuk memulai pun akan muncul. Disinilah pembuktian siapa sesungguhnya yang menguasai hati seorang anak manusia, ruh atau nafsu yang lebih dominan dalam dirinya? sebab jika ruh yang lebih mondiminasi, perasaan enggan untuk memulai pun akan mudah diantisipasi bahkan ketika selesai mengerjakan suatu aktifitaspun dia akan mencari atau membuat aktifitas baru yang bermanfaat bagi dirinya maupun keluarga dan lingkungannya, sampai ada suatu prinsip bagi mereka yang berbunyi "Kewajiban kita lebih banyak daripada waktu yang tersedia ". itulah ketika hati dikuasai oleh rasa penghambaan yang melekat.

Tetapi, lain halnya kalau nafsu yang mendominasi, dia malah akan membisikan "Santai saja, waktu yang tersedia masih banyak.." sehingga diri kita akan terlena dengan perasaan santai tersebut. Dan ketika sadar ternyata banyak urusannya tang belum ditunaikan sedangkan waktu yang tersedia semakin mepet dia akan kepanikan sehingga muncul pikiran-pikiran jahat untuk menghalalkan segala cara guna menyelesaikan urusan atau mencapai tujuannya. Dia tidak sadar bahwa salah satu hal yang membuat manusia lalai adalah waktu senggang. Nah inilah yang membedakan kualitas seseorang, Dikasih modal berupa waktu yang sama tapi hasil yang dia peroleh berbeda bahkan bisa jadi sangat jauh berbeda dengan orang-orang yang memanfaatkan waktu luangnya untuk menjalani proses guna mencapai tujuannya.

Kadang ada orang bertanya : bagaimana cara memunculkan keberanian untuk memulai tadi?. sebenarnya kalau kita perhatikan, keberanian merupakan efek yang muncul karena adanya semangat, semangat muncul karena adanya azzam, sedangkan azzam itu muncul karena kekuatan hati. Dan kekuatan hati akan ada kalau hati itu selalu di rawat dengan baik, maka tepat sekali apa yang disampaikan oleh Rasulullah SAW bahwa dalam diri manusia ada segumpal daging yang apabila daging ini baik maka akan baik pula bagian tubuh lainnya dan begitu pula sebaliknya ketika segumpal daging ini rusak atau jelek maka jelek pula yang lainnya.

Ternyata unsur yang sangat mendasar dalam diri seorang manusia terletak pada segumpal daging yaitu hati, sehingga hati ini bisa disebut dengan triger atau pemicu untuk suatu perbuatan. Dan baik buruknya seseorang berasal dari keadaaan hatinya. oleh karena itulah sahabat.., mari kita jaga dan rawat baik-baik titipan Alloh ini. jangan sampai kita melupakan hal ini, jangan sampai hati kita kotor karena kelalaian kita memelihara dan merawatnya. "sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwanya dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya" begitulah kata Alloh dalam surat 91:9-10.

Waspadalah sebab hati manusia pun tidak hanya dipengaruhi dari faktor internal saja (yaitu ruh dan nafsu tadi) tetapi lingkungan juga memiliki pengaruh secara tidak langsung terhadap kebersihan hati kita. Hati manusia pun tidak seperti katalis yang ketika bereaksi dia ikut bereaksi tetapi dia tetap utuh sebagai katalis tapi hati jauh berbeda dari itu, hati ketika sudah dicemari oleh sesuatu dia akan sulit dinetralkan. Bahkan hal-hal sederhana dalam diri kita pun dapat berpengaruh kepada hati kita, sebagai contoh : dalam salah satu haditsnya rasul pernah menyampaikan "hindarilah tertawa yang terbahak-bahak, karena hal itu dapat mengeraskan hati". hal ini jelas berpengaruh, sebab bisa kita rasa dan bayangkan ketika seseorang tertawa terbahak-bahak dengan bebasnya dia terbebas dari semua urusan bisa dikatakan dia terlepas dari segala kesadaran. sehingga hal tersebut tidak memberikan inputan apapun terhadap hatinya kecuali membuatnya semakin keras.

Mari kita hiasi hati kita dengan tanaman-tanaman yang harum baunya
yang dapat memberikan manfaat kepada diri dan rekan terdekat kita,
Kemudian menarik perhatian sang kupu-kupu untuk hinggapi di atasnya.
dan ingat...

Pandangan mata selalu menipu pandangan akal selalu bersalah
pandangan nafsu salah melulu pandangan mati itu yang hakiki
kalau hati itu bersih

Friday, November 6, 2009

Belajar Dari Penyelam

Seorang yang akan menyelam dalam waktu yang relatif lama untuk mengambil mutiara, pasti membutuhkan berbagai persiapan untuk mengoptimalkan penyelamannya, dari mulai tabung oksigen, pakaian selam sampai sepatu katak harus dia siapkan. Tapi, ingat bukan hanya itu kesadaran penuh pun dibutuhkan disini supaya dia bisa betul-betul memanfaatkan jumlah oksigen pada tabung yang di gendongnya.

Ketika semua persiapan sudah lengkap, dia menceburkan dirinya ke dalam air dengan teknik tertentu dan ketika berada di dalam air pun dia harus berenang sesuai dengan ketentuan sebab banyak peralatan yang dibawanya. selain itu kesadaran pun lagi-lagi dibutuhkan disini, supaya waktu yang dimilikinya betul-betul dimanfaatkan untuk mengambil mutiara. Jangan sampai dia malah asyik menikmati keindahan dasar laut, tanpa menyadari jatah oksigen yang dimilikinya semakin berkurang, Bahkan ketika mengambil mutiara pun harus hati-hati jangan sampai ada organisme lain yang terganggu.


Begitupun hidup kita, Alloh telah memberikan berbagai macam modal kepada kita. yang kita peroleh ketika sebelum lahir ke dunia ini, bahkan sampai saat ini setiap hari, setiap jam dan setiap detik kita memperoleh nikmat-nikmat tersebut. Tapi jangan sampai kita malah lupa dengan tujuan kita dan malah terlena dengan gemerlap kehidupan dunia yang hanya sementara ini.

Manfaatkan baik-baik semua potensi atau kenikmatan yang Alloh berikan ini sesuai dengan perintah Sang Pemberi Modal yaitu untuk menghambakan diri kita kepada Alloh SWT, atau dalam istilah lainnya tujuan lain kita di "ceburkan" ke alam dunia ini adalah untuk beribadah kepadaNYA.

Jaga terus kesadaran kita akan hal tersebut dengan senantiasa merawat semua modal yang Alloh berikan. Potensi tersebut dapat diklasifikasikan ke dalam dua golongan besar, yaitu potensi yang Alloh berikan kepada kita semenjak kita lahir ke dunia yakni hati, akal dan jasad. sedangkan potensi lainnya adalah kenikmatan yang senantiasa Alloh berikan kepada kita setiap saat. Jangan tunda-tunda dan terlalu sering lirik kanan-lirik kiri, tapi fokuslah pada tujuan kita sesungguhnya.

Adapun cara yang sangat ampuh untuk merawat kesadaran kita tersebut adalah dengan seringnya mengingat kepulangan kita, rindukanlah kepulangan kita tersebut. sebab setiap orang ketika pergi ke suatu tempat pasti dia akan rindu terhadap kampung halamannya, seberapa jauhpun dia merantau dia akan senantiasa mengingatnya bahkan kembali ke tempat tersebut. begitupun hidup kita suatu saat nanti kita akan pulang menghadap pemilik diri kita.

Penyelampun ketika tujuan nya mengambil mutiara telah tercapai dan kadar oksigen yang dibawanya sudah mau habis, dia akan kembali ke permukaan dan menghentikan penyelamannya. Tapi, bedanya kita dengan penyelam. kalau penyelam mengetahui batas keberadaannya di dalam air dengan memperhatikan kapasitas oksigen yang dibawanya, tapi kita tidak tahu kapan akhir dari petualangan kita menyelami samudera kehidupan ini.

wallohu'alam

Thursday, July 23, 2009

“HATMIYYAH AT-TARBIYYAH”

Adalah Abdulloh bin Rowahah RA, seorang sahabat yang ketika diangkat oleh Rosululloh SAW menduduki sebuah jabatan panglima dalam perang Mu’tah, Ia menerimanya dengan tangis dan cucuran air mata. Lalu para sahabat lainnya bertanya: “Maa yubkika ya… Abdalloh…” (Apa gerangan yang membuat engkau menangis wahai Abdulloh…), Iapun menjawab: “Wa maa bia hubbuddunya walaa shabaabatan bikum walaakin tadzakkartu hina dzakaranii Rosulullohu biqoulihi ta’ala: Wa in minkum illaa waariduhaa kaana alaa Rabbika Hatman Maqdhiyya” (Tidak ada pada diriku cinta dunia dan keinginan untuk dielu-elukan oleh kalian, akan tetapi aku hanya teringat ketika Rosululloh mengingatkanku dengan firman Alloh SWT: “Dan tidaklah dari kalain melainkan akan mendatanginya (neraka jahannam) adalah yang demikian itu bagi Tuhanmu (ya! Muhammad) merupakan ketentuan yang telah ditetapkan”. (QS. Maryam: 71).

Dari ungkapan Abdulloh bin Rowahah tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa beliau mentadabburkan ayat al-qur’an begitu dalam, sehingga beliau mengaitkan erat ayat tersebut dengan amanah jabatan yang baru saja dipangkuanya, apakah jabatannya kelak dapat menyelamatkannya ketika masing-masing orang mau tidak mau harus melewati “Shirothol Mustaqim”, karena menghadapi neraka Jahannam dengan melewatinya adalah “Hatman Maqdhiyya”, ketentuan yang telah ditetapkan, tidak ada jalan alternatif lain dan tidak bisa ditawar-tawar lagi.

“Hatman Maqdhiyya” juga berlaku dalam kaidah Tarbiah sebagai sebuah proses dalam proyek kebangkiatan umat dan pembangunan peradaban, oleh karenanya Tarbiyah memiliki sifat “Hatmiyyah”, sifat keniscayaan, dengan kata lain bahwa Tarbiyah suatu keniscayaan adala sebuah keharusan, atau ketentuan yang harus dipenuhi, konsekwensi yang harus dijalankan, tidak dapat ditawar dan tidak bisa tergantikan dengan apapun. Walhasil untuk dapat istiqomah di jalan da’wah serta mencapai target dan sasarannya, hanya ada satu jalan: Tarbiah!. Karena Tarbiyah adalah jalan yang dikehendaki oleh Alloh SWT untuk diikuti ( QS. 6: 153 ), dalam rangka melahirkan kader-kader generasi Rabbani (Generasi-generasi yang tertarbiyah) yang senantiasa antusias mengajarkan Al-qur’an dan mempelajarinya ( QS. 3: 79).

Tarbiyah suatu keniscayaan dalam prosesnya dapat dilakukan minimal dengan tiga buah pendekatan.

Pendekatan Idealis

Tarbiyah adalah jalan bagi para Da’i Islam, tidak ada jalan lain, atau dengan kata lain jalan para da’i adalah jalan tarbawi yang memiliki paling sedikit tiga karakter mendasar.

Pertama: Sulit tapi hasilnya paten ( Sha’bun – Tsabit )

Sulitnya sebuah proses biasanya membuahkan hasil yang berkualitas, oleh karena itu proses da’wah yang dilakukan oleh Rosululloh SAW, bukanlah perkara yang mudah, bayangkan, lima tahun pertama dalam da’wahnya di Mekkah baru hanya terkumpul “Arba’una rojulan wa khomsu niswatin” (40 laki-laki dan 5 wanita), akan tetapi ke 45 orang inilah yang kemudian menjadi ujung tombak da’wah, yang tidak hanya “Qaabilun lidda’wah” tetapi juga “Qaabilun litthagyir”, bahkan mereka seluruhnya menjadi “Anashiruttaghyir”, “Agen of change”, agen perubahan sosial dari masyarakat jahiliyah menuju masyarakat yang islami.

Berda’wah memang tidak mudah, karena berda’wah melalui proses Tarbiyah ibarat menanam pohon jati, yang harus senantiasa dijaga dan dipelihara sehingga akarnya tetap kuat menghunjam dan tidak goyah diterpa badai dan angin kencang, oleh karena itu jalan tarbawi adalah proses menuju pembentukan pribadi yang paten, atau dengan kata lain memiliki “matanah” (imunitas) baik secara “ma’nawiyah” (moral), “fikriyah” (gagasan dan pemikiran) dan “Tandzhimiyah” (struktural).

Ka’ab bin malik RA. Adalah salah satu contoh dari sebuah kepribadian yang paten, yang dengan kesadaran ma’nawiyah, fikriyah dan tandhimiyahnya, Ia mengakui kelalaiannya tidak turut serta dalam perang Tabuk, dan kemudian iapun dengan ikhlas menerima ‘uqubah (sanksi) yang telah ditetapkan oleh Rosululloh SAW. Bahkan ketika datang utusan dari kerajaan Ghassan yang secara diam-diam menemuinya untuk menyampaikan sepucuk surat dari raja Ghassan yang isinya antara lain suaka poltik dan jabatan penting telah tersedia untuknya bila Ia mau eksodus, Ia malah berkata seraya merobek surat tersebut: “Ayyu Mushibatin Hadzihi” (Musibah apa lagi ini..!)

Itulah sebuah refleksi dari sikap matanah yang hanya bisa dihasilkan melalu proses tarbiyah yang tidak mudah, melalui jalan da’wah yang terkonsep secara paten, Al-Qur’an menyebutnya dengan “Al-Qoulu Al-Tsabit” (QS. 14: 27 ), yang terumuskan di atas konsep yang baik atau “Kalimat Thayyibah” bukan “kalimat khabitsah” (QS. 14: 25 - 26 ).


Kedua: Panjang tetapi terjaga keasliannya (Thawil - Ashil)

Da’wah adalah perjalanan panjang, perjalanan yang dilalui tidak hanya oleh satu generasi, bahkan untuk dapat mencapai target dan sasaran jangka panjangnya membutuhkan beberapa generasi, Ingatlah ketika Rosululloh SAW mengayunkan palu memecahkan bebatuan parit Khandaq, ada percikan apai keluar dari sela-sela hantaman palu dan batu memercik ke arah timur, lalu beliau mengisyaratkan bahwa umatnya kelak akan dapat menaklukan Romawi (Byzantium). Padahal Romawi baru dapat di Taklukan oleh umat Islam pada masa daulah Utsmaniyah sekian abad sesudahnya, berapa generasi yang telah telampaui dan berapa panjang perjalanan da’wah yang telah dilalui?, akan tetapi ikhwah fillah betapaun telah melewati sekian banyak generasi, “Asholah” tetap terjaga, “Hammasah” tetap terpelihara, Islam yang sampai ke Romawi adalah Islam sebagaimana yang dijalankan oleh generasi pertamanya yaitu Rosululloh SAW dan Para sahabat Rodhiallohu ‘anhum wa rodhuu’anhu.


Kepribadian yang asholah adalah kepribadian yang telah teruji dengan panjangngnya mata rantai perjalanan da,wah, keperibadian yang hammasah adalah kepribadian yang tak lekang kerena ‘panas’ dan tak lapuk karena ‘hujan’, sebagai ujian dan cobaan dalam perjalanan da’wah.

Adalah Abu Thalhah RA, salah seoarang sahabat yang Alloh SWT berikan kepadanya umur yang panjang, sehingga beliau masih hidup pada masa kekhalifahan Utsman RA, beliau yang saat itu usianya sudah sepuh, ketika ada seruan jihad maritim, mengarungi lautan menuju perairan Yunani untuk mrnghadapi pasukan Romawi, seruan jihad berkumandang melalui lantunan ayat-ayat Al-Qur’an “Infiruu khifafan wa tsiqoolan” (berangkatlah kalian dalam keadaan ringan maupun berat), lalu anak-anaknya berkata kpadanya: “Sudahlah Ayah tak usah ikut berperang, cukuplah kami saja yang masih muda yang mewakili Ayah di medan perang”, dengan kecerdasan menafsirkan ayat tersebut dibarengi dengan pembawaan“Hikmatussuyukh Hammasatussyabab” Abu Ayyub menjawab: “Tidak bisa, ayat tersebut telah mewajibkan kepada seluruh kaum muslimin baik yang tua maupun yang muda, karena ayat tersebut menyebutkan “khifafan” (ringan) berarti ditujukan untuk ka lian yang masih muda dan “tsiqalan” ditujukan untukku yang sudah tua, maka anak-anaknya pun tak dapat membendung tekad sang ayah, berangkatlah Abu Thalhah RA turut serta dalam peperangan tersebut dan Iapun menemui syahadahnya.

Adalah saad bin Abi Waqqash RA, yang telah menggoreskan kesaksian perjalan da’wah dengan kepribadian yanga asholah yang tidak berubah karena perubahan situasi dan zaman, dari masa-masa yang penuh dengan kesulitan dan penderitaan hingga masa-masa yang penuh dengan kemudahan dan kesenangan, mengenang semua itu beliau berkata: “Aku adalah salah satu dari 7 orang sahabat (dari 10 sahabat yang dijanjikan masuk surga), dahulu kami bersama Rosullloh SAW dalam sebuah ekspedisi, kami tidak memiliki makanan, sehingga kami makan daun-daunan sampai perih tenggorokan kami, akan tetapi sekarang kami yang tujuh orang ini seluruhnya menjadi gubernur di beberapa daerah, maka kami berlindung kepada Alloh SWT agar tidak menjadi orang yang merasa besar di tengah-tengah manusia tetapi menjadi kecil di sisi Alloh SWT”.


Ketiga: Lambat tapi hasilnya terjamin (Bathi’ – Ma’mun)

Da’wah adalah lari estafet bukan sprint, untuk itu diperlukan kesabaran untuk mencapai target dan sasaran dengan kwalitas terjamin, lari estafet memang tampak kelihatan lambat , akan tetapi potensi dan tenaga terdistribusi secara kolektif dan perpaduan kerjasama terarah secara baik untuk memberikan sebuah jaminan kemenanagn di garis finis. Watak perjalanan da’wah yang lambat harus dilihat dari proses dan tahapannya bukan dari perangai para pelakunya, karena perangai yang lambat dalam berda’wah adalah bentuk kelalaian, yang nasab (afiliasi) nya kepada jama’ah kaliber Internasionalpun tidak akan mempercepat langkah kerja da’wahnya, sebagaiman hadits rosululloh SAW: “Man bathi’a ‘amaluhu lam yusra’ bihi nasabuhu” (Barang siapa yang lamban kerjanya, tidak bisa dipercepat dirinya dengan nasabnya).

Salah satu jaminan dari proses tarbiyah adalah melahirkan sebuah kepribadian yang integral, tidak mendua dan tidak terbelah, integritas kepribadian seorang muslim yang ditempa di jalan Tarbawi tercermin pada keteguhan akidahnya, keluhuran akhlaknya , kebersuhan hatinya, kebaikan suluknya baik secara ta’abbudi, ijtima’i maupun tandzhimi.

Keberhasilan sebuah da’wah akan tampak sejauh mana keterjaminannya bila dihadapkan oleh situasi dan kondisi yang menguji integritas kepribadiannya. Sebagaimana halnya ketika terjadi tragedi “Haditsul Ifki” yang menimpa Aisyah radhiallohu anha, banyak orang yang yang tidak terjamin akhlaknya sehingga turut menyebarluaskan fitnah keji tersebut, bandingkan dengan para sahabiyah yang terjamin kualitas tarbawinya, yang menjaga lisannya, yang lebih senang mengedepankan husnudzhannya kepada ummul Mu’minin aisyah RA, cukuplah isteri Abu Ayyub al-anshari mewakili keluarga para shabiyah yang berhati mulia, bagaiman ia mensikapi kasus tersebut dengan penuh rasa ukhuwwah dan mencintai saudaranya karena Alloh SWT.

Berkenaan dengan gunjingan yang menimpa aisyah RA, isteri abu Ayyub al-anshary berkata kepada suaminya: “Ya..Abaa ayyub!, lau kunta sofwaana hal taf’alu bihurmati rasulillaahi suu’an, wa hua khairun minka, Ya…Abaa ayyub lau kuntu ‘Aisyah maa khuntu Rasulallohi abadan” (Wahai abu Ayyub, jika engkau yang menjadi Safwannya apakah engkau berbuat yang tidak-tidak kepada isteri Rosululloh SAW, dan Safwan lebih baik dari engkau. Wahai abu Ayyub, kalau aku yang jadi Aisyah, tidak akan pernah akau menghianati Rasululloh SAW, dan Aisyah lebih baik dariku).

Dengan kata lain isteri Abu Ayyub Al-Anshari RA mengingatkan suaminya bahwa dirinya yang tidak lebih baik dari Shafwan RA saja tidak ada pikiran-pikiran buruk teerhadap Aisyah RA sebagaimana yaang digunjingkan oleh banyak orang, apalagi Shafwan RA yang jauh lebih baik dari suaminya , sehingga mustahil dalam pandangan isteri Abu Ayyub RA Shafwan melakukan hal-hal sebagaimana yang dituduhkan oleh banyak orang. Sebaliknya isteri Abu Ayyub Al-Ansari RA juga berkata kepada dirinya sendiri , bahwa dirinya saja yang tidak merasa lebih baik dari Aisyah RA tidak pernah terlintas untuk tega mengkhianati suami apalagi Aisyah yang dalam pandangannya jelas-jelas jauh lebih baik dari dirinya, sudah barang tentu mustahil terlintas pikiran jelek menghianati suami (berselingkuh) seperti yang digosipkan oleh banyak orang.

Kata-kata isteri abu Ayyub syarat dengan taushiah agar kita menjaga syahwatul lisan, mendahulukan husnu dzhan dan menonjolkan sikap tawaddhu sebagai bukti terjaminnya hasil da’wah.

Pendekatan taktis

Setelah ketiga faktor idealis tersebut diatas telah terealisasi dengan baik, maka langkah berikutnya adalah memetakan langkah-langkah taktis, dengan melakukan program peningkatan kualitas dan kuantitas pertumbuhan kader dan menyelenggarakan “Bi’tsatudduat”. Seperti beberapa orang sahabat yang diutus oleh Rosululloh SAW untuk menda’wahkan dan mengajarkan serta melakukan pembinaan kepada orang-orang yang baru masuk islam, yang telah melampaui wilayah Makkah dan Madinah, seperti Muadz bin Jabal yang diutus ke Yaman dan Khalid bin Walid yang dikirim ke wilayah irak. Hal itu dimaksudkan untuk menyeimbangkan luasnya medan da’wah dengan jumlah kader dan menyelaraskan dukungan masa dengan potensi (kemampuan) tarbiyah.

Pendekatan Strategis


Langkah strategis dalam sebuah perjalanan da’wah yang sangat penting adalah fokus untuk menyusun barisan kader inti, dimana hal ini tidak boleh terabaikan betapapun gegap gempitanya sambutan masyarakat umum terhadap da’wah ini, oleh karena itu untuk menghindari terjadinya “Lose of generation”, atau generasi kader yang lowong, maka segera mendesak untuk dirumuskan sebuah strategi membina kader baru yang sekarang ini semakin kompetitif dengan gerakan-gerakan da’wah lainnya. Semakin banyak jumlah jumlah kader inti disamping kader baru baik secara kwalitas maupun kwantitas akan banyak membantu da’wah ini dalam menghadapi berbagai permasalahan dan ancaman.

Pada masa abu bakar RA, terjadi gelombang pemurtadan yang luar biasa, sehingga 2/3 jazirah arab nyaris mengalami kemurtadan, itu artinya hanya 1/3 wilayah yang selamat yang terdiri dari kota Makkah, Madinah dan Thaif, di ketiga kota inilah kader inti da’wah tetap dijaga dan dipelihara, sedangkan kader-kader baru dibina pada masa Khalifah Umar bin Khattab dimana kebanyakan mereka adalah tawanan perang Riddah pada masa Abu Bakar RA. Terbukti kemudian pada perang Qadisiyah, ketika ancaman imperium Persia menghadang, kader-kader baru yang dibina oleh umar bin khaatab selama kurang lebih satu tahun kebanyakan mereka berada dibarisan paling depan dalam jihad fi sabilillah, dan tak jarang diantara mereka kemudian terkenal sebagai panglima dan komandan pasukan. Itulah hasil sebuah produk tarbiyah (QS, 3: 146).

Wallohu ‘alamu bisshowab

Tuesday, July 7, 2009

Urgensi Kualitas dan Akibat Mengabaikannya

Layaknya seperti seorang petani yang memiliki lahan bercocok tanam yang semakin luas, maka dibutuhkan kuantitas petani yang lebih banyak lagi. Dan supaya pertanian nya memberikan hasil yang memuaskan maka kualitas para petani juga harus diperharikan. Begitu pun dalam dakwah, Kualitas kader dalam kehidupan dakwah harus senantiasa mengikuti kebutuhan marhaliyah dan mihwar dakwah. Semakin meningkat marhalah dan semakin meluas mihwar dakwah, maka kualitas kader pun dituntut untuk semakin berkembang. Bila yang terjadi sebaliknya, maka akan muncul bencana bagi dakwah. Apa bentuk bencana itu?

Pertama, akan muncul kader-kader yang tidak mampu istiqamah di dalam mengikuti irama perjalanan dakwah yang dinamis. Ia akan tersibukkan oleh problem-problem personal dan terjauhkan dari aktifitas dakwah. Ingatlah, ayat yang membuat rambut nabi Muhammad SAW beruban adalah: "Maka istiqamahlah kamu (pada jalan yang benar), sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlak kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan." (QS. 11:112 ). Kesabaran untuk menggapai janji-janji Allah adalah kunci rahasianya. "Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya. Dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini. Dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas." (QS. 18:28).

Kedua, munculnya sebagian kader yang menginginkan kehidupan dakwah sebagai sesuatu yang ringan dan menyenangkan secara duniawi. Mereka menjadi enggan ketika perjalanan dakwah ini begitu panjang dan membutuhkan pengorbanan yang banyak. Mereka cenderung menjadi orang yang ingin "hidup dari dakwah" dan bukan "menghidupi dakwah". Perhatikan peringatan Allah SWT: "Kalau yang kamu serukan kepada mereka itu keuntungan yang mudah diperoleh dan perjalanan yang tidak seberapa jauh, pastilah mereka mengikutimu. Tetapi tempat yang dituju itu amat jauh terasa oleh mereka. Mereka bersumpah dengan (nama) Allah: "Jikalau kami sanggup, tetulah kami berangkat bersamamu". Mereka membinasakan diri mereka sendiri dan Allah mengetahui bahwa mereka sesungguhnya benar-benar orang yang berdusta." (QS. 9:42).

Ketiga, munculnya ketidakmampuan di dalam menjalankan misi dakwah ditengah-tengah masyarakat. Ini karena daya dukung dan daya topang yang dimiliki kader semacam ini, tidak seimbang dengan kebutuhan dan tuntutan dakwah yang semakin terbuka. Allah SWT mengarahkan Rasulullah SAW untuk menyiapkan diri sedemikian rupa agar mampu mengemban misi dakwah yang besar dan berat. "Hai orang yang berselimut. Bangunlah, lalu berilah peringatan! Dan Tuhanmu agungkanlah. Dan pakaianmu bersihkanlah. Dan perbuatan dosa tinggalkanlah. Dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak. Dan untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu, bersabarlah." (QS. 74: 1-7).

Keempat, akibat dari ketiga hal ini, dakwah menjadi disibukkan oleh problematika internal yang menguras energi dakwah, sehingga tidak mampu menjalankan misi-misi perubahan secara efektif. Padahal misi utama dakwah adalah melakukan perubahan dan perbaikan secara nyata. "... Dan aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakal dan hanya kepada-Nya lah aku kembali." (QS. 11:88).

Kelima, akibat ketidakmampuan ini, timbul kesenjangan antara harapan besar masyarakat dengan apa yang bisa diberikan oleh dakwah. Lalu terjadi krisis kredibilitas dan krisis legitimasi. Krisis ini bisa jadi akan diperamai oleh sejumlah kasus-kasus negatif yang muncul ke permukaan. Perhatikan peringatan Allah SWT: "Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan." (QS. 61:2-3).

Terakhir, pada saat semacam itulah, akan muncul pikiran di sebagian kader yang lemah, untuk menarik kembali dakwah ke belakang. Mereka merasa lebih nyaman ketika dakwah ini belum berhadapan langsung dengan masyarakat secara terbuka. Cukuplah pelajaran dari kisah perang Uhud berikut ini: "Orang-orang yang ditinggalkan (tidak ikut berperang) itu, merasa gembira dengan tinggalnya mereka di belakang Rasulullah, dan mereka tidak suka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Dan mereka berkata: "Janganlah kamu berangkat (pergi berperang) dalam panas terik ini". Katakanlah: "Api neraka Jahannam itu lebih sangat panas", jikalau mereka mengetahui." (QS. 9:81). Inilah bencana yang bisa terjadi pada dakwah manakala aspek kualitas diabaikan.

Monday, July 6, 2009

Wasiat Rasulullah SAW agar hidup lebih bermakna

Nabi saw. pernah bersabda kepada Abu Dzar ketika dia menanyakan kepada beliau perihal Shuhuf Ibrahim. beliau saw. menjawab:

“Shuhuf Ibrahim itu seluruhnya berisi permisalan. Diantaranya dikatakan, ‘Wahai penguasa yang tertipu, sesungguhnya Aku tidaklah mengutusmu untuk menghimpun harta kekayaan dari san-sini, tetapi Aku mengutusmu untuk mewakili-Ku dalam mengabulkan doa orang yang dizhalimi. Karena sesungguhnya Aku tidak akan menolaknya, sekalipun dipanjatkan oleh seorang yang kafir.’ Dikatakan juga, ‘Setiap orang yang berakal, selama dia masih bisa mengendalikan akal sehatnya, haruslah mempunyai empat waktu; waktu untuk bermunajat kepada Rabb-nya; waktu untuk memikirkan ciptaan Allah; waktu untuk berdialog dengan dirinya sendiri; dan waktu untuk menyendiri dengan Dzat pemilik keagungan dan kemuliaan. Sesungguhnya, waktu tersebut akan membantu dirinya untuk memanfaatkan waktu-waktu yang lainnya.’ Disebutkan juga, ‘Setiap orang yang berakal, selama dia masih bisa mengendalikan akal sehatnya, tidak akan menempuh perjalanan, kecuali dalam tiga hal, yaitu berbekal untuk menghadapi hari kemudian, mencari kebutuhan hidup, dan menikmati sesuatu yang tidak diharamkan.’ Disebutkan juga, ’setiap orang yang berakal, selama dia masih bisa mengendalikan akal sehatnya, hendaklah memahami betul akan zamannya, memperhatikan keberadaan dirinya, dan menjaga lidahnya. Barangsiapa menganggap perkatan itu sebagai bagian dari amalnya, maka dia akan sangat sedikit berbicara, kecuali dalam hal yang bermakna baginya.”

Aku (Abu Dzar) tanyakan, “Lalu, (ajaran) apa yang terdapat di dalam Shuhuf Musa as.?” Beliau saw. menjawab:

“Seluruhnya berisi pelajaran. Di dalamnya disebutkan, ‘Sungguh mengherankan, ada orang yang yakin akan neraka, bagaimana dia bisa tertawa? Sungguh mengherankan, ada orang yang yakin akan kematian, bagaimana dia masih saja merasa senang? Sungguh mengherankan, ada orang yang melihat dunia dan kebergelimangan penghuninya, namun dia masih saja merasa senang dengannya. Sungguh mengherankan, ada orang yang yakin akan qadar, namun dia masih juga marah. Sungguh mengherankan, ada orang yang yakin akan adanya hisab pada hari esok (hari kiamat), tapi dia tidak juga mau beramal.”

Aku tanyakan lagi kepada beliau, “Apakah masih ada lagi ajaran yang disebutkan di dalam kedua shuhuf tersebut?” Beliau saw. menjawab, “Ya, benar, wahai Abu Dzar. Yaitu, ‘Sungguh beruntung orang yang membersihkan diri.’ (Al A’la: 14), dan seterusnya hingga akhir surat.”

Aku katakan, “Sampaikan wasiat kepadaku!” Beliau saw. menjawab, “Aku wasiatkan kepadamu agar bertakwa kepada Allah karena ia adalah pokok segala urusanmu.”

Aku katakan lagi, “Beri aku tambahan!” Beliau saw. menjawab, “Hendaklah engkau membaca Al Qur’an dan sebutlah allah banyak-banyak, niscaya Dia akan menyebutmu di langit.”

Aku katakan lagi, “Berilah aku tambahan!” Beliau saw. bersabda, “Hendaklah engkau berjihad karena jihad itu rahbaniyah-nya orang-orang beriman.”

Aku katakan lagi, “Berilah aku tambahan!” Beliau saw. bersabda, “Hendaklah engkau (banyak) diam karena sikap diam itu bisa mengusir setan darimu serta menjadi pembantu bagimu dalam urusan agamamu.”

Aku katakan lagi, “Berilah aku tambahan!” Beliau saw. bersabda, “Katakanlah yang benar, sekalipun pahit rasanya!”

Aku katakan lagi, “Berilah aku tambahan!” Beliau saw. bersabda, “Jangan pedulikan celaan orang yang mencelamu dalam melaksanakan agama Allah.”

Aku katakan kepada beliau, “Berilah aku tambahan!” Beliau saw. bersabda, “Sambunglah jalinan kekerabatan, sekalipun mereka telah memutus jalinan tersebut denganmu!”

Aku katakan lagi, “Berilah aku tambahan!” Beliau saw. bersabda, “Cukuplah seseorang itu dianggap jahat apabila dia tidak mengerti tentang dirinya sendiri dan berpayah-payah melakukan apa yang tidak bermakna baginya. Wahai Abu Dzar, tidak ada akal yang lebih baik daripada pengaturan, tidak ada sikap wara’ yang lebih baik daripada pengendalian diri, dan tidak ada kebaikan yang melebihi kebaikan akhlak.”


(HR. Ibnu Hibban)

Sunday, June 28, 2009

Kelezatan Tiada Bandingnya

eramuslim - Ali radhiallahu anhu mengatakan, ada 4 momen kebaikan tertentu yang paling berat dilakukan. Yakni memaafkan ketika marah, berderma ketika pailit,
menjaga diri dari dosa (iffah) ketika sendirian dan menyampaikan kebenaran pada orang yang ditakuti keburukannya atau diharapkan kebaikannya.

Saudaraku,
Renungkanlah. Momen-momen seperti itu sebenarnya yang sering menjadi celah rawan perampasan dan pencurian syetan. Sulit sekali kita memberi maaf ketika justru amarah seseorang meletup-letup dan dalam kondisi kita mampu melampiaskan amarah. Sulit sekali memberi, apapun, ketika kita sendiri sangat membutuhkannya. Sulit sekali memelihara diri dari dosa, bila kesempatan untuk melakukannya berulangkali terbuka
lebar di depan mata kita, dan tidak ada orang lain yang mengetahui kita jika kita melakukannya. Lalu, seberapa mampu kita menyampaikan kebenaran pada orang
yang kita takuti? Dan seberapa mampu kita menyampaikan kebenaran yang bisa menyakiti orang yang kita menanam harapan kepadanya? Itulah momen-momen yang sering membuat manusia tergelincir.

Saudaraku,
Ada satu kata yang sangat singkat untuk mengatasinya. Keikhlasan. Itu kuncinya. Keikhlasan membawa seseorang mudah memaafkan di kala marah. Ikhlas juga yang
menjadikan seseorang ringan memberi meski ia membutuhkan. Ikhlas, yang membuat seseorang tak memandang situasi dalam beramal dan menjauhi maksiat, meski tak seorangpun melihat. Ikhlas juga yang membuat orang tak memandang risiko apapun dalam ia menyampaikan kebenaran.

Berkat ikhlas, Rasulullah saw tercatat berhasil melewati momen-momen rawan tersebut. Rasul adalah sosok yang paling mudah memberi maaf, paling banyak memberi laksana angin, paling terpelihara dari penyimpangan di manapun, paling berani menyampaikan
kebenaran pada siapapun. Benarlah ucapan Ibnul Jauzi rahimahullah, “Barangsiapa mengintip pahala (yang dituai karena keikhlasan), niscaya menjadi ringanlah tugas yang berat.” (Ar Raqa-iq, Muhammad Ahmad Rasyid)

Saudaraku,
Lihatlah wujud ketulusan dari keikhlasan lain yang dimiliki Ibnu Abbas. “Bila aku mendengar berita tentang hujan yang turun di suatu daerah, maka aku akan gembira meskipun aku di daerah itu tak mempunyai binatang ternak atau padang rumput. Bila aku membaca sesuatu ayat dari Kitabullah, maka aku ingin agar kaum muslimin semua memahami ayat itu seperti apa yang aku ketahui.”

Orang seperti Ibnu Abbas tak pernah memikirkan apa yang ia peroleh dari kebaikan yang ia lakukan. Ia cukup merasa bahagia, hanya dengan mendengar informasi kebaikan yang mungkin tidak terkait langsung dengan kepentingan pribadinya. Lebih dalam lagi keikhlasan yang diungkapkan oleh Imam Syafi’I, “Aku ingin kalau ilmu ini tersebar tanpa diketahui bila aku yang menyebarkannya….”

Saudaraku,
Dengan keikhlasan, kita jadi tak mudah diperdaya oleh nafsu. Dan itulah nikmat yang hanya dirasakan para mukhlisain. Seperti tertuang dalam nasihat Ibnul Qayyim, bahwa mengutamakan kelezatan iffah (menjaga diri dari perbuatan durhaka), lebih lezat daripada kelezatan maksiat. Dalam kesempatan lain ia mengatakan, “Rasa sakit (akibat azab Allah) yang ditimbulkan dari mengikuti hawa nafsu, lebih dahsyat daripada kelezatan sesaat yang dirasakan karena memperturutkan hawa nafsu.”

Begitulah. Sampai akhirnya kita benar-benar mengerti dan meresapi perkataan salafusalih yang dikutip Syaikh Ahmad Muhammad Rasyid dalam Al Awa’iq, “Fi quwwati qahril hawa ladzah, taziidu alaa kulli ladzah.” Berusaha sekuat tenaga menekan hasa nafsu itu adalah kelezatan. Kelezatan yang berada di atas kelezatan

Penyakit Ukhuwah

Maraknya pertentangan antarberbagai kelompok dalam tubuh umat Islam
akhir-akhir ini sungguh sangat memprihatinkan sekaligus sangat
memalukan. Betapa tidak. Ajaran Islam yang penuh dengan kedamaian,
kesejukan, ketenangan, dan sangat toleran dalam menghadapi berbagai
perbedaan pendapat, ternyata tidak mampu diterjemahkan dan
diaplikasikan dalam realitas kehidupan oleh umat Islam. Terlebih lagi
oleh para elite, para tokoh, dan para pemimpin, yang seharusnya
memberikan contoh dan teladan.

Tidak ada keuntungan sama sekali yang akan diraih oleh para pihak
yang terlibat pertentangan, kecuali hanyalah menguras energi,
menguras kekuatan, menghambur-hamburkan sumber daya dan dana. Ia juga
dapat menghancurkan semangat ukhuwah islamiyyah yang seharusnya
menjadi ciri utama dari keberagaman kita. Harus disadari, tanpa
adanya ukhuwah islamiyyah, maka tidak akan ada iman dan takwa. Tanpa
landasan takwa, maka tidak mungkin kita dapat membangun ukhuwah dalam
kehidupan.

Dalam sebuah hadis riwayat Imam Bukhari dan Muslim dari Anas bin
Malik, Rasulullah saw bersabda, "Seorang tidak dikatakan beriman,
sebelum dia mencintai saudaranya, sebagaimana dia mencintai dirinya
sendiri." Karena itu, Allah SWT sangat mencela dan membenci sikap dan
tindakan yang menjurus pada pertentangan, berbantah-bantahan, dan
permusuhan, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya, "Dan taatlah
kalian kepada Allah dan rasul-Nya, dan janganlah kalian berbantah-
bantah (bertentangan) yang menyebabkan kalian menjadi gagal dan
gentar (dalam menghadapi musuh) dan akan hilang pula kekuatanmu. Dan
bersabarlah, sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar" (QS
8: 46).

Pertanyaan yang sering timbul saat ini, mengapa perbuatan yang
mengundang kebencian dan kemurkaan Allah SWT itulah yang sering
ditampilkan? Kenapa penyakit ukhuwah islamiyyah yang justru
dipelihara? Mengapa kita senang membenci orang-orang yang beriman?
Kenapa kita tidak senang dan bangga dengan kesatuan dan persatuan
umat? Mengapa kita tidak dapat mengendalikan diri, mengendalikan
emosi, mengendalikan ucapan dan tindakan, serta mengapa kita tidak
mau mengalah untuk sesuatu hal yang bersifat jangka pendek (seperti
jabatan dan kedudukan) guna meraih kemenangan yang jauh lebih besar?
Atau memang, tujuan kita hanyalah sekadar mendapat pujian dari
masyarakat, meraih kedudukan dan jabatan duniawi yang sifatnya sangat
sesaat dan sementara?

Jika dilihat dan dikaji dalam berbagai ayat Al-Quran, seperti firman
Allah SWT dalam QS 3:103 dan QS 8:63, maka dapatlah diketahui bahwa
persoalan ukhuwah adalah persoalan hati. Persoalan ukhuwah bukanlah
semata-mata persoalan persepsi yang berbeda tentang suatu masalah.
Betapa banyak perbedaan persepsi dan pendapat yang terjadi antara
para ulama terdahulu, seperti antara Imam Syafi'i dengan Imam Hanafi.
Tetapi, mereka tetap saling menghormati, menyayangi, dan tetap
bekerja sama, karena hati mereka yang bening, jujur, dan ikhlas dalam
menyikapi perbedaan tersebut. Dari sini kita dapat melihat bahwa
hanya orang-orang yang memiliki hati yang bening, jernih, jujur, dan
takwa kepada Allah SWT yang akan mampu membangun ukhuwah islamiyyah
tersebut. Sedangkan orang-orang yang hatinya berpenyakit, kotor, dan
rusak, pasti tidak dapat membangun ukhuwah, kecuali hanya sesaat. Itu
pun jika menguntungkan dirinya dan kelompoknya.

Beberapa penyakit hati yang mengotori dan merusak ukhuwah islamiyyah
antara lain adalah:

Pertama, takabur dan sombong. Yaitu merasa diri paling benar, paling
baik, dan paling berjasa dibandingkan dengan yang lainnya.
Kesombongan yang semacam ini akan menihilkan peranan dan kemampuan
orang lain dalam membangun sebuah organisasi atau sebuah institusi.
Orang yang sombong pasti tidak akan mau menerima kritik, saran, dan
nasihat dari orang lain karena setiap kritikan itu disikapinya
sebagai upaya untuk menjatuhkan dirinya.

Kedua, rakus atau tamak. Yaitu keinginan yang tidak terkendali untuk
menguasai materi, jabatan, kedudukan, dan hal-hal duniawi lainnya.
Orang yang rakus akan berusaha untuk mempertahankan jabatan dan
kedudukannya walaupun ia sendiri sesungguhnya sama sekali tidak
memiliki prestasi. Ketamakan adalah cerminan dari kefakiran dan
kemiskinan spiritual, sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadis
riwayat Imam Thabrani bahwa Rasulullah saw bersabda, "Jauhilah oleh
kamu sekalian sifat rakus itu, karena kerakusan itu merupakan
cerminan dari kemiskinan hati."

Ketiga, hasad, iri, dan dengki. Yaitu sikap tidak senang dengan
keberhasilan, keunggulan dan kelebihan orang lain, walaupun orang
yang berhasil itu adalah saudara atau sahabatnya, sebagaimana
peristiwa yang terjadi antara kedua anak Nabi Adam as, yaitu Qabil
dan Habil. Keunggulan orang lain dianggap sebagai ancaman dan bukan
dianggap sebagai peluang untuk membangun kekuatan secara bersama-
sama, dengan saling melengkapi dan mengisi kekurangan masing-masing.

Ketiga penyakit itulah sesungguhnya merupakan sumber perpecahan dan
pertentangan, karena dari ketiganyalah dosa dan kemaksiatan kepada
Allah maupun kepada sesama manusia akan tumbuh dengan subur, seperti
disebutkan dalam hadis riwayat Ibnu 'Asaakir dari Ibnu Mas'ud. Karena
itu upaya membangun ukhuwah islamiyyah pada hakikatnya adalah
berusaha seoptimal mungkin menghilangkan penyakit-penyakit rohani
tersebut. Wallahu a'lam bi ash-shawab.

dikutip dari artikel Republika Online:
Kolom Refleksi
Minggu, 27 Januari 2002
Penyakit Ukhuwah
oleh: Bapak Didin Hafidhuddin

Bandingkan Cinta Anda Dengan Cinta-Nya!

eramuslim- Cinta adalah memberi, dengan segala daya dan keterbatasannya seorang pecinta akan memberikan apapun yang sekiranya bakal membuat yang dicintainya senang. Bukan balasan cinta yang diharapkan bagi seorang pecinta sejati, meski itu menjadi sesuatu yang melegakannya. Bagi pecinta sejati, senyum dan kebahagiaan yang dicintainya itulah yang menjadi tujuannya.

Cinta adalah menceriakan, seperti bunga-bunga indah di taman yang membawa kenyamanan bagi yang memandangnya. Seperti rerumputan hijau di padang luas yang kehadirannya bagai kesegaran yang menghampar. Seperti taburan pasir di pantai yang menghantarkan kehangatan seiring tiupan angin yang menawarkan kesejukkan. Dan seperti keelokan seluruh alam yang menghadirkan kekaguman terhadapnya.

Cinta adalah berkorban, bagai lilin yang setia menerangi dengan setitik nyalanya meski tubuhnya habis terbakar. Hingga titik terakhirnya, ia pun masih berusaha menerangi manusia dari kegelapan. Bagai sang Mentari, meski terkadang dikeluhkan karena sengatannya, namun senantiasa mengunjungi alam dan segenap makhluk dengan sinarannya. Seperti Bandung Bondowoso yang tak tanggung-tanggung membangunkan seluruh jin dari tidurnya dan menegakkan seribu candi untuk Lorojonggrang seorang. Sakuriang tak kalah dahsyatnya, diukirnya tanah menjadi sebuah telaga dengan perahu yang megah dalam semalam demi Dayang Sumbi terkasih yang ternyata ibu sendiri. Tajmahal yang indah di India, di setiap jengkal marmer bangunannya terpahat nama kekasih buah hati sang raja juga terbangun karena cinta. Bisa jadi, semua kisah besar dunia, berawal dari cinta.

Cinta adalah kaki-kaki yang melangkah membangun samudera kebaikan. Cinta adalah tangan-tangan yang merajut hamparan permadani kasih sayang. Cinta adalah hati yang selalu berharap dan mewujudkan dunia dan kehidupan yang lebih baik. Cinta selalu berkembang, ia seperti udara yang mengisi ruang kosong. Cinta juga seperti air yang mengalir ke dataran yang lebih rendah.

Tapi ada satu yang bisa kita sepakati bersama tentang cinta. Bahwa cinta, akan membawa sesuatu menjadi lebih baik, membawa kita untuk berbuat lebih sempurna. Mengajarkan pada kita betapa, besar kekuatan yang dihasilkannya. Cinta membuat dunia yang penat dan bising ini terasa indah, paling tidak bisa kita nikmati dengan cinta. Cinta mengajarkan pada kita, bagaimana caranya harus berlaku jujur dan berkorban, berjuang dan menerima, memberi dan mempertahankan.

Tentang Cinta itu sendiri, Rasulullah dalam sabdanya menegaskan bahwa tidak beriman seseorang sebelum Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai daripada selain keduanya. Al Ghazali berkata: "Cinta adalah inti keberagamaan. Ia adalah awal dan juga akhir dari perjalanan kita. Kalaupun ada maqam yang harus dilewati seorang sufi sebelum cinta, maqam itu hanyalah pengantar ke arah cinta dan bila ada maqam-maqam sesudah cinta, maqam itu hanyalah akibat dari cinta saja."

Disatu sisi Allah Sang Pencinta sejati menegaskan, jika manusia-manusia tak lagi menginginkan cinta-Nya, kelak akan didatangkan-Nya suatu kaum yang Dia mencintainya dan mereka mencintai-Nya (QS. Al Maidah:54). Maka, berangkat dari rasa saling mencintai yang demikian itu, bandingkanlah cinta yang sudah kita berikan kepada Allah dengan cinta Dia kepada kita dan semua makhluk-Nya.

Wujud cinta-Nya hingga saat ini senantiasa tercurah kepada kita, Dia melayani seluruh keperluan kita seakan-akan Dia tidak mempunyai hamba selain kita, seakan-akan tidak ada lagi hamba yang diurus kecuali kita. Tuhan melayani kita seakan-akan kitalah satu-satunya hamba-Nya. Sementara kita menyembah-Nya seakan-akan ada tuhan selain Dia.

Apakah balasan yang kita berikan sebagai imbalan dari Cinta yang Dia berikan? Kita membantah Allah seakan-akan ada Tuhan lain yang kepada-Nya kita bisa melarikan diri. Sehingga kalau kita "dipecat" menjadi makhluk-Nya, kita bisa pindah kepada Tuhan yang lain.

Tahukah, jika saja Dia memperhitungkan cinta-Nya dengan cinta yang kita berikan untuk kemudian menjadi pertimbangan bagi-Nya akan siapa-siapa yang tetap bersama-Nya di surga kelak, tentu semua kita akan masuk neraka. Jika Dia membalas kita dengan balasan yang setimpal, celakalah kita. Bila Allah membalas amal kita dengan keadilan-Nya, kita semua akan celaka. Jadi, sekali lagi bandingkan cinta kita dengan cinta-Nya. Wallahu a'lam bishshowaab (Bayu Gautama. Thanks to Herry Nurdi akan artikel "Belajar Mencinta"nya)

Sunday, June 14, 2009

Delapan Kado Terindah

Aneka kado ini tidak dijual di toko. Anda bisa menghadiahkannya setiap saat,dan tak perlu membeli ! Meski begitu, delapan macam kado ini adalah hadiah terindah dan tak ternilai bagi orang-orang yang Anda sayangi.

1. KEHADIRAN
Kehadiran orang yang dikasihi rasanya adalah kado yang tak ternilai harganya. Memang kita bisa juga hadir dihadapannya lewat surat, telepon, foto atau faks. Namun dengan berada disampingnya. Anda dan dia dapat berbagi perasaan, perhatian, dan kasih sayang secara lebih utuh dan intensif. Dengan demikian, kualitas kehadiran juga penting. Jadikan kehadiran Anda sebagai pembawa kebahagian.

2. MENDENGAR
Sedikit orang yang mampu memberikan kado ini, sebab, kebanyakan orang Lebih suka didengarkan, ketimbang mendengarkan. Sudah lama diketehui bahwa keharmonisan hubungan antar manusia amat ditentukan oleh kesediaan saling mendengarkan. Berikan kado ini untuknya. Dengan mencurahkan perhatian pada segala ucapannya, secara tak langsung kita juga telah menumbuhkan kesabaran dan kerendahan hati. Untuk bisa mendengar denganbaik, pastikan Anda dalam keadaan betul-betul relaks dan bisa menangkap utuh apa yang disampaikan. Tatap wajahnya. Tidak perlu menyela, mengkritik, apalagi menghakimi. Biarkan ia menuntaskannya. Ini memudahkan Anda memberi tanggapan yang tepat setelah itu. Tidak harus berupa diskusi atau penilaian. Sekedar ucapan terima kasihpun akan terdengar manis baginya.

3. D I A M
Seperti kata-kata, didalam diam juga ada kekuatan. Diam bisa dipakai Untuk menghukum, mengusir, atau membingungkan orang. Tapi lebih dari segalanya. Diam juga bisa menunjukkan kecintaan kita pada seseorang karena memberinya "ruang". Terlebih jika sehari-hari kita sudah terbiasa gemar menasihati, mengatur, mengkritik bahkan mengomeli.

4. KEBEBASAN
Mencintai seseorang bukan berarti memberi kita hak penuh untuk memiliki atau mengatur kehidupan orang bersangkutan. Bisakah kita mengaku mencintai seseorang jika kita selalu mengekangnya? Memberi kebebasan adalah salah satu perwujudan cinta. Makna kebebasan bukanlah, " Kau bebas berbuat semaumu." Lebih dalam dari itu, memberi kebebasan adalah memberinya kepercayaan penuh untuk bertanggung jawab atas segala hal yang ia putuskan atau lakukan.

5. KEINDAHAN
Siapa yang tak bahagia, jika orang yang disayangi tiba-tiba tampil lebih ganteng atau cantik ? Tampil indah dan rupawan juga merupakan kado lho. Bahkan tak salah jika Anda mengkadokannya tiap hari ! Selain keindahan penampilan pribadi, Anda pun bisa menghadiahkan keindahan suasana dirumah. Vas dan bunga segar cantik di ruang keluarga atau meja makan yang tertata indah, misalnya.

6. TANGGAPAN POSITIF
Tanpa, sadar, sering kita memberikan penilaian negatif terhadap pikiran, sikap atau tindakan orang yang kita sayangi. Seolah-olah tidak ada yang benar dari dirinya dan kebenaran mutlak hanya pada kita. Kali ini, coba hadiahkan tanggapan positif. Nyatakan dengan jelas dan tulus. Cobalah ingat,berapa kali dalam seminggu terakhir anda mengucapkan terima kasih atas segala hal yang dilakukannya demi Anda. Ingat-ingat pula, pernahkah Anda memujinya. Kedua hal itu, ucapan terima kasih dan pujian (dan juga permintaan maaf ), adalah kado cinta yang sering terlupakan.

7. KESEDIAAN MENGALAH Tidak semua masalah layak menjadi bahan pertengkaran. Apalagi sampai Menjadi cekcok yang hebat. Semestinya Anda pertimbangkan, apa iya sebuah hubungan cinta dikorbankan jadi berantakan hanya gara-gara persoalan itu? Bila Anda memikirkan hal ini, berarti Anda siap memberikan kado " kesediaan mengalah" Okelah, Anda mungkin kesal atau marah karena dia telat datang memenuhi janji. Tapi kalau kejadiannya baru sekali itu, kenapa mesti jadi pemicu pertengkaran yang berlarut-larut ? Kesediaan untuk mengalah juga dapat melunturkan sakit hati dan mengajak kita menyadari bahwa tidak ada manusia yang sempurna didunia ini.

8. SENYUMAN
Percaya atau tidak, kekuatan senyuman amat luar biasa. Senyuman, terlebih yang diberikan dengan tulus, bisa menjadi pencair hubungan yang beku, pemberi semangat dalam keputus asaan. pencerah suasana muram, bahkan obat penenang jiwa yang resah. Senyuman juga merupakan isyarat untuk membuka diri dengan dunia sekeliling kita. Kapan terakhir kali anda menghadiahkan senyuman manis pada orang yang dikasihi ?

Usamah ra. Panglima Islam Termuda

Asakir telah memberitakan dari Az-Zuhri dari Urwah dari Usamah bin Zaid ra. bahwa Rasulullah Saw. memerintahkannya untuk menyerang suku kaum Ubna pada waktu pagi dan membakar perkampungannya. Maka Rasulullah Saw. berkata kepada Usamah, "Berangkatlah dengan nama Allah!". Kemudian Rasulullah Saw. keluar membawa bendera perangnya dan diserahkannya ke tangan Buraidah bin Al-Hashib Al-Aslami ra. untuk dibawa ke rumah Usamah ra. Beliau juga memerintahkan Usamah untuk membuat markasnya di Jaraf di luar Madinah sementara kaum Mukmin membuat persiapan untuk keluar berjihad. Maka Usamah ra. mendirikan kemahnya di suatu tempat berdekatan dengan Siqayat Sulaiman sekarang ini. Maka, mulailah orang berdatangan dan berkumpul di tempat itu. Siapa yang sudah selesai kerjanya segera datang ke perkemahan itu, dan siapa yang masih ada urusan diselesaikan urusannya terlebih dahulu.

Tiada seorang pun dari kaum Muhajirin yang unggul, melainkan dia ikut dalam pasukan jihad ini, termasuk Umar bin Al-Khatthab, Abu Ubaidah, Sa'ad bin Abu Waqqash, Abul A'war Said bin Zaid bin Amru bin Nufail radiallahuanhum dan banyak lagi para pemuka Muhajirin yang ikut serta. Dari kaum Anshar pun di antaranya Qatadah bin An-Nu'man dan Salamah bin Aslam bin Huraisy ra.huma dan lain-lain. Ada di antara kaum Muhajirin yang kurang setuju dengan pimpinan Usamah ra. itu, karena usianya masih terlalu muda (18 tahun). Di antara orang yang banyak mengkritiknya ialah Aiyasy bin Abu Rabi'ah ra. dia berkata, "Bagaimana Rasuluilah mengangkat anak muda yang belum berpengalaman ini, padahal banyak lagi pemuka-pemuka kaum Muhajirin yang pernah memimpin perang". Karena itulah banyak desas-desus yang memperkecilkan kepemimpinan Usamah ra.

Umar bin Al-Khatthab ra. menolak pendapat tersebut serta menjawab keraguan orang ramai. Kemudian dia menemui Rasulullah Saw. serta memberitahu tentang apa yang dikatakan orang ramai tentang Usamah. Beliau Saw. sangat marah, lalu memakai sorbannya dan keluar ke masjid. Bila orang ramai sudah berkumpul di situ, beliau naik mimbar, memuji-muji Allah dan mensyukurinya, lalu berkata, "Amma ba'du! Wahai sekalian manusia! Ada pembicaraan yang sampai kepadaku mengenai pengangkatan Usamah? Demi Allah, jika kamu telah menuduhku terhadap pengangkatanku terhadap Usamah, maka sebenarnya kamu juga dahulu telah menuduhku terhadap pengangkatanku terhadap ayahnya, yakni Zaid. Demi Allah, si Zaid itu memang layak menjadi panglima perang dan puteranya si Usamah juga layak menjadi panglima perang setelahnya. Kalau ayahnya si Zaid itu sungguh sangat aku kasihi, maka puteranya juga si Usamah sangat aku kasihi. Dan kedua orang ini adalah orang yang baik, maka hendaklah kamu memandang baik terhadap keduanya, karena mereka juga adalah di antara sebaik-baik manusia di antara kamu!".

Sesudah itu, beliau turun dari atas mimbar dan masuk ke dalam rumahnya, pada hari Sabtu, 10 Rabi'ul-awal. Kemudian berdatanganlah kaum Muhajirin yang hendak berangkat bersama-sama pasukan Usamah itu kepada Rasulullah Saw. untuk mengucapkan selamat tinggal, di antaranya Umar bin Al-khatthab ra. dan Rasulullah Saw. terus mengatakan kepada mereka: "Biarkan segera Usamah berangkat! Seketika itu pula Ummi Aiman ra. (yaitu ibu Usamah) mendatangi Rasulullah Saw. seraya berkata: "Wahai Rasulullah! Bukankah lebih baik, jika engkau biarkan Usamah menunggu sebentar di perkemahannya, sehingga engkau merasa sehat, karena, jika Usamah ra. berangkat juga dalam keadaan seperti ini, tentulah dia akan merasa bimbang dalam perjalanannya!". Tetapi Rasulullah Saw. tetap mengatakan: "Biarkan segera Usamah berangkat!".

Orang ramai sudah berkumpul di perkemahan pasukan Usamah itu, dan mereka menginap di situ pada malam minggu itu. Usamah datang lagi kepada Rasulullah Saw. pada hari Ahad dan Beliau Saw. terlalu berat sakitnya, sehingga mereka memberikannya obat. Usamah menemui Beliau sedang kedua matanya mengalirkan air mata. Ketika itu Al-Abbas berada di situ, dan di sekeliling Beliau ada beberapa orang kaum wanita dari kaum keluarganya. Usamah menundukkan kepalanya dan mencium Rasulullah Saw. sedang Beliau tidak berkata apa-apa, selain mengangkat kedua belah tangannya ke arah langit serta mengusapkannya kepada Usamah.

Berkata Usamah, "Aku tahu bahwa Rasulullah Saw. mendoakan keberhasilanku. Aku kemudian kembah ke markas pasukanku". "Pada besok harinya, yaitu hari Senin, aku menggerakkan pasukanku sehingga kesemuanya telah siap untuk berangkat. Aku mendapat berita bahwa Rasulullah Saw. telah segar sedikit, maka aku pun datang sekali lagi kepadanya untuk mengucapkan selamat tinggal, kata Usamah". Beliau berkata kepadaku, "Usamah! Berangkatlah segera dengan diliputi keberkatan dari Allah!". Aku lihat isteri-isterinya cerah wajah mereka karena gembira melihat beliau sedikit segar pada hari itu. Kemudian datang pula Abu Bakar ra. dengan wajah yang gembira, seraya berkata:"Wahai Rasulullah! Engkau terlihat lebih segar hari ini, Alhamduillah. Hari ini hari pelangsungan pernikahan puteri Kharijah, izinkanlah aku pergi". Maka Rasulullah Saw. mengizinkannya pergi ke Sunh (sebuah perkampungan di luar kota Madinah), Usamah ra. pun kembali kepada pasukannya yang sedang menunggu penntahnya untuk bergerak, dan dia telah memerintahkan siapa yang masih belum berkumpul di markasnya supaya segera datang karena sudah tiba waktunya untuk bergerak.

Belum jauh pasukan itu meninggalkan Jaraf, tempat markas perkemahannya, datanglah utusan dari Ummi Aiman memberitahukan bahwa Rasulullah Saw. telah kembali ke rahmatullah. Usamah segera memberhentikan pergerakan pasukan itu, dan segera menuju ke kota Madinah bersama-sama dengan Umar ra. dan Abu Ubaidah ra. ke rumah Rasulullah Saw. dan mereka mendapati beliau telah meninggal dunia. Beliau wafat ketika matahari tenggelam pada hari Senin malam 12 Rabi'ul-awal. Kaum Muslimin yang bermarkas di Jaraf tidak jadi berangkat ke medan perang, lalu kembali ke Madinah. Buraidah bin Al-Hashib yang membawa bendera Usamah, lalu menancapkannya di pintu rumah Rasulullah Saw. Sesudah Abu Bakar ra. diangkat menjadi Khalifah Rasulullah Saw. dia telah menyuruh Buraidah ra. mengambil bendera perang itu dan menyerahkan kepada Usamah, dan supaya tidak dilipat sehingga Usamah memimpin pasukannya berangkat ke medan perang Syam. Berkata pula Buraidah: "Aku pun membawa bendera itu ke rumah Usamah , dan pasukan itu pun bergerak menuju ke Syam". Setelah selesai tugas kami di Syam, kami kembali ke Madinah dan bendera itu terus saya tancapkan di rumah Usamah sehingga Usamah meninggal dunia.

Apabila berita wafatnya Rasulullah Saw. sampai kepada kaum Arab, sebagian mereka telah murtad keluar dari agama Islam. Abu Bakar ra. memanggil Usamah lalu menyuruhnya supaya menyiapkan diri untuk berangkat memerangi bangsa Romawi sebagaimana yang diperintahkan oleh Rasulullah Saw. sebelum wafatnya dahulu. pasukan Islam mulai berkumpul lagi di Jaraf di perkemahan mereka dulu. Buraidah ra. yang diamanahkan untuk memegang bendera perang telah berada di markasnya di sana. Tetapi para pemuka kaum Muhajirin yang terutama, seperti Umar, Usman, Abu Ubaidah, Sa'ad bin Abu Waqqash, Said bin Zaid dan lainnya mereka telah datang kepada Khalifah Abu Bakar ra. seraya berkata, "Wahai Khalifah Rasulullah! Sesungguhnya kaum Arab sudah mula memberontak, dan adalah tidak wajar engkau akan membiarkan pasukan Islam ini meninggalkan kami pada masa ini. Bagaimana kalau engkau pecahkan pasukan ini menjadi dua. Yang satu untuk engkau kirimkan kepada kaum Arab yang murtad itu untuk mengembalikan mereka kepada Islam, dan yang lain engkau pertahankan di Madinah untuk menjaganya, siapa tahu kalau-kalau ada yang datang untuk menyerang kita dari mereka itu. Kalau tidak, maka yang tinggal di sini hanya anak-anak kecil dan wanita saja, bagaimana mereka dapat mempertahankannya? Seandainya engkau menangguhkan memerangi kaum Romawi itu, sehingga keadaan kita dalam negeri aman, dan kaum Arab yang murtad itu kembali ke pangkuan kita, ataupun kita kalahkan mereka terlebih dahulu, kemudian kita mengirim pasukan kita untuk memerangi bangsa Romawi itu, bukankah itu lebih baik?! Kita pun tidak merasa bimbang dari bangsa Romawi itu untuk datang menyerang kita pada masa ini!. Abu Bakar ra. hanya mendengar bermacam-macam pandangan dari para pemuka Muhajirin itu.

Setelah selesai mereka berkata, maka Abu Bakar ra. bertanya lagi: Adakah yang mau memberikan pendapatnya lagi, atau kamu semua telah memberikan pendapat kamu?! jawab mereka: "Kami sudah berikan apa yang harus kami sampaikan!". "Baiklah, kalau begitu. Saya telah dengar semua apa yang hendak kamu katakan itu", ujar Abu Bakar. Demi jiwaku yang berada di tangannya! Kalau aku tahu bahwa aku akan dimakan binatang buas sekalipun, niscaya aku tetap akan mengutus pasukan ini ke tujuannya, dan aku yakin bahwa dia akan kembali dengan selamat. Betapa tidak, sedang Rasulullah Saw. yang telah diberikan wahyu dari langit telah berkata: "Berangkatkan segera pasukan Usamah". Tetapi ada suatu hal yang akan aku beritahukan kepada Usamah sebagai panglima pasukan itu. Aku minta darinya supaya memembiarkan Umar tetap tinggal di Madinah untuk membantuku di sini, karena aku sangat perlu kepada bantuannya. Demi Allah, aku tidak tahu apakah Usamah setuju atau tidak. Demi Allah, jika dia enggan membenarkan sekalipun, aku tidak akan memaksanya! Kini tahulah para pemuka Muhajirin itu, bahwa khalifah mereka yang baru itu telah berazam sepenuhnya untuk mengirim pasukan Islam, sebagaimana yang diperintahkan oleh Rasulullah Saw. sebelumnya.

Abu Bakar ra. lalu pergi ke rumah Usamah ra., dan memintanya agar membiarkan Umar ra. tinggal di Madinah untuk membantunya. Usamah ra. setuju. Untuk meyakinkan dirinya, maka Abu Bakar ra. berkata lagi: "Benar engkau mengizinkannya dengan hati yang rela?" Jawab Usamah: "ya!". Khalifah Abu Bakar ra. lalu mengeluarkan perintah supaya tidak ada seorang pun mengelakkan dirinya dari menyertai pasukan Usamah itu sesuai dengan perintah Rasulullah SAW sebelum wafatnya. Dia berkata lagi: "Siapa saja yang melewatkan dirinya untuk keluar, niscaya aku akan menyuruhnya mengejar pasukan itu dengan berjalan kaki". Kemudian Abu Bakar ra. memanggil orang-orang yang pernah mengecil-ngecilkan pengangkatan Usamah sebagai panglima perang, dan memarahi mereka serta menyuruh mereka ikut keluar bersama-sama pasukan itu, sehingga tiada seoran pun yang berani memisahkan dirinya. Apabila pasukan itu sudah mulai bergerak, Abu Bakar ra. datang untuk mengucapkan selamat berangkat kepada mereka.

Usamah mendahului para sahabatnya dari Jaraf, dan mereka kurang lebih 3,000 orang, di antaranya ada 1,000 orang yang menunggang kuda. Abu Bakar ra. berjalan kaki di sisi Usamah ra. untuk mengucapkan selamat jalan kepadanya: "Aku serahkan kepada Allah agamamu, amanatmu dan kesudahan amalmu! Sesungguhnya Rasulullah Saw. sudah berpesan kepadamu, maka laksanakanlah segala pesannya itu, dan aku tidak ingin menambah apa-apa pun, tidak akan menyuruhmu apa pun atau melarangmu dari apa pun. Aku hanya menjalankan apa yang diperintahkan oleh Rasuluflah Saw. saja".

Usamah ra. dan pasukannya maju dengan cepat. Dia telah melalui beberapa negeri yang tetap mematuhi Madinah dan tidak keluar dari Islam, seperi Juhainah dan lainnya dari suku kaum Qudha'ah. Apabila dia tiba di Wadilqura, Usamah mengutus seorang mata-mata dari suku Hani Adzrah, dikenal dengan nama Huraits. Dia maju meninggalkan pasukan itu, hingga tiba di LThna dan dia coba mendapatkan berita di sana, kemudian dia kembali secepatnya dan baru bertemu dengan pasukan Usamah sesudah berjalan selama dua malam dari Ubna itu. Huraits lalu memberitahu Usamah, bahwa rakyat di situ masih belum berbuat apa-apa. Mereka belum berkumpul untuk menentang pasukan yang mereka, dan mengusulkan supaya pasukan Usamah segera menggempur sebelum mereka dapat mengumpulkan pasukan

Wanita Bagi Pahlawan

Oleh : M. Anis Matta, Lc

Dibalik setiap pahlawan besar selalu ada seorang wanita agung. Begitu kata pepatah Arab. Wanita agung itu biasanya satu dari dua, atau dua-duanya sekaligus; sang ibu atau sang istri.

Pepatah itu merupakan hikmah psiko-sejarah yang menjelaskan sebagian dari latar belakang kebesaran seorang pahlawan. Bahwa karya-karya besar seorang pahlawan lahir ketika seluruh energi didalam dirinya bersinergi dengan momentum diluar dirinya; tumpah ruah bagai banjir besar yang tidak terbendung. Dan tiba-tiba sebuah sosok telah hadir dalam ruang sejarah dengan tenang dan ajek.

Apa yang telah dijelaskan oleh hikmah psiko-sejarah itu adalah sumber energi bagi para pahlawan; wanita adalah salah satunya. Wanita bagi banyak pahlawan adalah penyangga spiritual, sandaran emosional; dari sana mereka mendapat ketenangan dan kegairahan, kenyamanan dan keberanian, keamanan dan kekuatan. Laki-laki menumpahkan energi di luar rumah, dan mengumpulkannya lagi didalam rumahnya.

Kekuatan besar yang dimiliki para wanita yang mendampingi para pahlawan adalah kelembutan, kesetiaan, cinta dan kasih sayang. Kekuatan itu sering dilukiskan seperti dermaga tempat kita menambatkan kapal, atau pohon rindang tempat sang musafir berteduh. Tapi kekuatan emosi itu sesungguhnya merupakan padang jiwa yang luas dan nyaman, tempat kita menumpahkan sisi kepolosan dan kekanakan kita, tempat kita bermain dengan lugu dan riang, saat kita melepaskan kelemahan-kelemahan kita dengan aman, saat kita merasa bukan siapa-siapa, saat kita menjadi bocah besar. Karena di tempat dan saat seperti itulah para pahlawan kita menyedot energi jiwa mereka.

Itu sebabanya Umar bin Khattab mengatakan, "Jadilah engkau bocah di depan istrimu, tapi berubahlah menjadi lelaki perkasa ketika keadaan memanggilmu'. Kekanakan dan keperkasaan, kepolosan dan kematangan, saat lemah dan saat berani, saat bermain dan saat berkarya, adalah ambivalensi-ambivalensi kejiwaan yang justru berguna menciptakan keseimbangan emosional dalam diri para pahlawan.

"Saya selamanya ingin menjadi bocah besar yang polos." kata Sayyid Quthub. Para pahlawan selalu mengenang saat-saat indah ketika ia berada dalam pangkuan ibunya, dan selamanya ingin begitu ketika terbaring dalam pangkuan istrinya.

Siapakah yang pertama kali ditemui Rasulullah SAW setelah menerima wahyu pertama dan merasakan ketakutan luar biasa? Khadijah! Maka ketika Rasulullah ditawari untuk menikah setelah Khadijah wafat, beliau mengatakan; "Dan siapakah wanita yang sanggup menggantikan peran Khadijah?"

Itulah keajaiban dari kesederhanaan. Kesederhanaan yang sebenarnya adalah keagungan; kelembutan, kesetiaan, cinta an kasih sayang. Itulah keajaiban wanita.


Thursday, June 4, 2009

Antara Ukhuwah dan Pacaran

Maksud hati ingin ukhuwah dengan lawan jenis, tapi malah terjebak dalam
pacaran. Tadinya pengen menjalin ukhuwah islamiyah, tapi apa daya
kecemplung jadi demenan. He..he.. jangan heran atuh, sebab hubungan dengan
lawan jenis itu rentan banget disusupi oleh perasaan-perasaan lain yang
getarannya lebih dahsyat. Apalagi kalo ditambah naik bajaj, dijamin tambah
menggigil karena vibrasinya kuat banget (apa hubungannya?) :-)

Sobat muda muslim, sesama aktivis masjid atau organisasi kerohanian di
sekolah dan kampus, selalu saja muncul hal-hal tak terduga. Cinta lokasi
kerap mewarnai perjalanan hidup mereka. Iya dong, aktivis juga kan manusia.
Wajar banget dong untuk merasakan hal-hal seperti itu. Apalagi mereka sama-
sama sering bertemu. Bukankah pepatah Jawa mengatakan, witing tresno
jalaran soko kulino sering jadi rujukan untuk menggambarkan perasaan itu?
Ati-ati!

Hmm… rasa cinta itu muncul karena seringnya bersama atau bertemu, begitu
maksudnya? Yup, kamu cukup cerdas dalam masalah ini. Iya, jadi jangan kaget
or heran kalo sesama aktivis pengajian muncul perasaan itu. Apalagi di
antara mereka udah saling mengetahui kebiasaan masing-masing. Dijamin
perasaan ‘ser-seran’ keduanya dijembatani oleh seringnya komunikasi dan
frekuensi pertemuan. Udah deh, panah-panah asmara mulai dilepaskan dari
busur masing-masing dalam nuraninya. Duh gusti, itu artinya sang panah
asmara siap menembus hati masing-masing. Siap memekarkan bunga-bunga di
taman hati mereka. Seterusnya, jatuh hati dan saling memendam rindu. Uhuy!

Jadi, kalo nggak kuat-kuat amat imannya, kamu bakalan melakoni aktivitas
pacaran sebagaimana layaknya dilakukan oleh mereka yang masih awam sama
ajaran agama. Nggak terasa, di antara kamu mulai berani janjian untuk
ketemu di masjid. Walau mungkin masih malu-malu. Tapi jangan salah lho,
jika nafsu udah jadi panglima, akal sehat kamu pasti keroconya. Kamu lalu
deklarasi, “akal sehat saatnya minggir!”. Waduh, gimana jadinya kalo sesama
aktivis malah terjebak dalam perasaan-perasaan seperti ini?

Sobat muda muslim, memang ukhuwah itu tidak dibatasi cuma kepada satu jenis
manusia aja, tapi kepada dua jenis sekaligus, yakni laki dan wanita. Bahkan
ukhuwah islamiyah berdimensi sangat luas, yakni nggak dibatasi oleh waktu
dan tempat. Kapan pun dan di mana mereka berada, asal mereka adalah muslim,
itu saudara kita. Hanya saja, untuk ukhuwah dengan lawan jenis, memang ada
aturan mainnya sendiri, sobat. Nggak sembarangan, atau nggak sebebas dalam
bergaulnya seperti kepada teman satu jenis. Itu sebabnya, kita bahas
masalah ini di buletin kesayangan kamu ini. Betul? Loading…

Ketika cinta mulai menggoda

Rasa cinta itu unik. Nggak mengenal status seseorang, dan juga suka tiba-
tiba aja datang. Hadir dalam jiwa, menggerogoti hati, mengaduk-mengaduk
perasaan, yang akhirnya muncul rasa suka dan rindu. Duh, banyak pujangga
yang berhasil menorehkan kata-kata puitisnya tentang cinta. Sebab cinta itu
naluriah. Pasti dimiliki oleh seluruh manusia, termasuk hewan. Allah udah
memberikan rasa itu kepada manusia. Firman-Nya:“Dijadikan indah pada
(pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-
wanita, anak-anak,” (QS Ali Imraan [3]:14)

Nah, gimana jadinya kalo sesama aktivis pengajian muncul rasa cinta? Nggak
masalah. Sah-sah saja kok. Bahkan sangat mungkin terjadi. Itu naluriah.
Cuma, tetap harus aman dan terkendali. Nggak boleh mengganggu stabilitas
nasional (ciiee.. bahasanya pejabat banget tuh!). Iya, saat cinta menggoda,
jarang yang bisa bertahan dari godaannya yang kadang menggelapkan mata dan
hati seseorang. Jangan heran dong kalo sampe ada yang nekat pacaran. Wah,
aktivis pengajian kok pacaran?

Sobat muda muslim, itu sebabnya kamu kudu bisa jaga diri. Ukhuwah islamiyah
di antara sesama aktivis pengajian tentunya nggak dinodai dengan perbuatan
yang mencemarkan nama baik organisasi, nama baik kamu, nama baik sesama
aktivis pengajian, dan yang jelas kesucian Islam. Jangan sampe ada
omongan, “aktivis pengajian aja pacarannya kuat, tuh! Muna deh!”. Coba,
gimana kalo sampe ada yang bilang begitu? Nyesek banget kan? Jelas lebih
dahsyat dari wabah SARS tuh! Upss...

Kalo udah gitu, bisa ngerusak predikat tuh. Bener. Sebab, serangan kepada
orang yang punya predikat ‘paham agama’ lebih kenceng. Jadi kalo ada
aktivis pengajian yang pacaran, orang di sekililing mereka dengan sengit
mengolok-olok, mencemooh, bahkan mencibir sinis. Kejam juga ya? Bandingkan
dengan orang yang belum paham agama, atau nggak aktif di organisasi
kerohanian Islam, biasa-biasa aja tuh. Sobat, inilah semacam ‘hukuman
sosial’ yang kudu ditanggung seseorang yang udah dipandang ngerti. Padahal,
sama aja dosanya. Tapi, seolah lebih besar kalo itu dilakukan oleh aktivis
pengajian. Gawat!

Wajar juga sih pandangan seperti itu. Sebab, umat kan lagi nyari siapa yang
dapat ia percayai dan teladani dalam kehidupannya. Jadi, jangan khianati
kepercayaan mereka kepadamu hanya gara-gara soal cinta yang kebablasan.
Sebab, mereka menganggap bahwa kamu mampu menjaga diri dan mungkin orang
lain. Nah, kalo kemudian kamu melakukan perbuatan yang merendahkan
martabatmu, rasanya pantes banget kalo kemudian mereka nggak percaya lagi
sama kamu yang aktif di pegajian. Betul apa betul?

Sobat muda muslim, cinta seketika bisa datang menggoda, hadir dalam jiwa,
memenuhi rongga dada, dan membawa asa yang menghempaskan segala duka yang
pernah ada. Hmm.. kalo itu yang kamu rasakan, harap hati-hati. Ukhuwah di
antara kamu jangan dinodai dengan aktivitas bejat, meskipun atas nama
cinta. Berbahaya. Jangan heran kalo Kahlil Gibran pernah bikin puisi
seperti ini: “Cinta berlalu di hadapan kita, terbalut dalam kerendahan
hati, tetapi kita lari darinya dalam ketakutan, atau bersembunyi di dalam
kegelapan; atau yang lain mengejarnya, untuk berbuat jahat atas namanya”

Jaga jarak aman!

Idih, emangnya mengendarai mobil sampe dibilang jaga jarak aman?
He..he..he... jangan salah euy, justru yang berbahaya adalah karena
seringnya deketen, apalagi sampe gesekan segala (emangnya kartu kredit main
gesek?).

Jaga jarak aman adalah cara ampuh menjaga hati kita untuk tidak melakukan
aktivitas berbahaya. Bukankah seringkali kamu tak berdaya jika deketan sama
orang yang kamu incer? Sebab, kalo nggak diatur dengan batasan ajaran
agama, kamu bisa kebablasan berbuat tuh. Bener. Jangan sampe kamu lakuin.
BTW, apa aja sih batasan bergaul dengan lawan jenis, khususnya sesama
aktivis? Iya, biar kita jadi ngeh, apa yang boleh dilakukan dan mana yang
terlarang untuk dilakoni. Supaya ukhuwah kita nggak bias dengan pacaran.

Pertama, kurangi frekuensi pertemuan yang nggak perlu. Memang, kalau sudah
cinta, berpisah sejam serasa 60 menit, eh maksudnya setahun. Bawaannya
pengen ketemu melulu. It’s not good for your health, guys! Ini nggak sehat.
Perbuatan seperti itu bukannya meredam gejolak, tapi akan memperparah
suasana hati kita. Pikiran dan konsentrasi kita malah makin nggak karuan.
Selain itu bukan mustahil kalau kebaikan yang kita kerjakan jadi tidak
ikhlas karena Allah. Misal, karena si doi jadi moderator di acara
pengajian, eh kita bela-belain datang karena pengen ngeliat si doi, bukan
untuk nyimak pengajiannya itu sendiri.

Yup, kurangi frekuensi pertemuan, apalagi kalau memang tidak perlu. Kalau
sekadar untuk minjem buku catatan, ngapain minjem pada si doi, cari aja
teman lain yang bisa kita pinjam bukunya. Lagipula, kalau kamu nggak
sabaran, khawatir ada pandangan negatif dari si doi. Bisa-bisa kamu dicap
sebagai ikhwan atau akhwat yang agre (maksudnya agresif). Zwing...zwing..
gubrak!

Kedua, jangan ‘menggoda’ dengan gaya bicara dan penampilan yang gimanaa..
gitu. Jadi, ketika kamu berbicara dengan lawan jenis harus diperhatikan
intonasi dan gaya bicaranya. Bagi wanita, jangan sekali-kali ketika
berinteraksi dengan anak cowok menggunakan gaya bicara yang mendayu-dayu
kayak penyanyi dangdut. Suaranya dibuat merdu merayu hingga menyisakan rasa
penasaran yang amat sangat bagi kaum lelaki. Wow! Firman Allah: “Jika kamu
bertakwa, maka janganlah kamu terlalu lemah lembut (mengucapkan perkataan,
nanti orang-orang yang dalam hatinya ragu ingin kepadamu. Dan berkatalah
dengan perkataan yang baik. “ (QS. al-Ahzab [33]: 32)

Ketiga, menutup aurat. Nggak salah neh? Kalo aktivis kan udah ngeh soal itu
Bang? Bener. Harusnya memang begitu. Tapi, banyak juga yang belum tahu
bagaimana cara mengenakan busana sesuai syariat. Akhwatnya masih pake
kerudung gaul yang ‘cepak’ abis! (kalo yang bener kan ‘gondrong’.
He..he..). Iya, kerudungnya aja modis banget. Pake lipstik lagi bibirnya.
Bedakannya tebel banget pula. Minyak wanginya? Bikin ikan sekom ngapung!

Jadi buat para akhwat, jangan tabarujj deh. Duh, kebayang banget lucunya
kalo aktivis pengajian tabarujj alias tampil pol-polan dengan memamerkan
kecantikannya. Jangan ya, Allah Swt. berfirman: “...dan janganlah kamu
berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu” (QS
al-Ahzab [33]: 33)

Banyak lho yang mengaku aktivis masjid tapi kelakuannya masih begitu. Jadi,
mari kita sama-sama membenahi diri kita dan juga teman-teman yang lain
sesama aktivis masjid. perubahan memang butuh proses. Tapi, kudu dimulai
dari sekarang. Siap kan? Heu-euh!

Keempat, kurangi berhubungan. Mungkin ketemu langsung sih nggak, tapi
komunikasi jalan terus tuh. Mulai dari sarana ‘tradisional’ macam surat via
pos, sampe yang udah canggih macam via telepon, HP, dan juga internet.
Wuih, ketemu langsung emang jarang, tapi kirim SMS dan nelponnya kuat.
Apalagi kalo urusan chatting, pake ada jadwalnya segala. Udah gitu, kirim-
kirim e-mail pula. Hmm... jadi tetep berhubungan kan? Emang sih bukan masuk
kategori khalwat. Tapi kan bisa menumbuhkan rasa cinta, suka, dan sayang?
Nggak percaya? Jangan dicoba! He..he..

Kelima, jaga hati. Ya, meski sesama aktivis pengajian, bisikan setan tetap
berlaku. Bahkan sangat boleh jadi makin kuat komporannya. Itu sebabnya,
kalo hatimu panas terus karena panah asmara itu, dinginkan hati dengan
banyak mengingat Allah. Mengingat dosa-dosa yang udah kita lakukan ketika
sholat dan membaca al-Quran. Firman Allah Swt.: “Ingatlah dengan mengingat
Allah hati menjadi tenang.” (ar-Ra’du [13]: 28)

Oke deh, kamu udah punya modal sekarang. Hati-hatilah dalam bergaul dengan
teman satu pengajian. Jaga diri, kesucian, dan kehormatan kamu dan temanmu.
Jangan nekat berbuat maksiat. Kalo udah TKD alias Teu Kuat Deui, segera
menikah saja (kalo emang udah mampu). Kalo belum mampu? Banyakin aktivitas
bermanfaat dan seringlah berpuasa.

Emang sih kalo pengen ideal, kudu ada kerjasama semua pihak; individu,
masyarakat dan juga negara. Hmm.. soal cinta juga urusan negara ya? Negara
wajib meredam dan memberantas faktor-faktor yang selalu ngomporin
masyarakat untuk berbuat yang nggak-nggak. Betul? Jadi, jangan sampe
ukhuwah kita berubah jadi demenan! Catet ya.

ngutip dari tulisan seorang sahabat

Saturday, May 30, 2009

I K H L A S

Ini cerita tentang Anisa, seorang gadis kecil yang ceria berusia lima tahun. Pada suatu sore, Anisa menemani Ibunya berbelanja di suatu supermarket.
Ketika sedang menunggu giliran membayar, Anisa melihat sebentuk kalung mutiara mungil berwarna putih berkilauan, tergantung dalam sebuah kotak berwarna pink yang sangat cantik. Kalung itu nampak begitu indah, sehingga Anisa sangat ingin memilikinya.

Tapi... Dia tahu, pasti Ibunya akan berkeberatan. Seperti biasanya, sebelum berangkat ke supermarket dia sudah berjanji:
Tidak akan meminta apapun selain yang sudah disetujui untuk dibeli. Dan tadi Ibunya sudah menyetujui untuk membelikannya kaos kaki ber-renda yang cantik.

Namun karena kalung itu sangat indah, diberanikannya bertanya : "Ibu,bolehkah Anisa memiliki kalung ini ? Ibu boleh kembalikan kaos kaki yang tadi... " Sang Bunda segera mengambil kotak kalung dari tangan Anisa. Dibaliknya tertera harga Rp 15,000. Dilihatnya mata Anisa yang memandangnya dengan penuh harap dan cemas.
Sebenarnya dia bisa saja langsung membelikan kalung itu, namun ia tak mau bersikap tidak konsisten...

"Oke ... Anisa, kamu boleh memiliki kalung ini. Tapi kembalikan kaos kaki yang kau pilih tadi. Dan karena harga kalung ini lebih mahal dari kaos kaki itu, Ibu akan potong uang tabunganmu untuk minggu depan. Setuju ?"

Anisa mengangguk lega, dan segera berlari riang mengembalikan kaos kaki ke raknya."Terimakasih..., Ibu"
Anisa sangat menyukai dan menyayangi kalung mutiaranya. Menurutnya, kalung itu membuatnya nampak cantik dan dewasa. Dia merasa secantik Ibunya.Kalung itu tak pernah lepas dari lehernya, bahkan ketika tidur. Kalung itu hanya dilepasnya jika dia mandi atau berenang. Sebab, kata ibunya, jika basah, kalung itu akan rusak, dan membuat lehernya menjadi hijau...

Setiap malam sebelum tidur, Ayah Anisa akan membacakan cerita pengantar tidur. Pada suatu malam, ketika selesai membacakan sebuah cerita, Ayah bertanya "Anisa..., Anisa sayang ngga sama Ayah ?" "Tentu dong... Ayah pasti tahu kalau Anisa sayang Ayah !"
"Kalau begitu, berikan kepada Ayah kalung mutiaramu..."
"Yah..., jangan dong Ayah ! Ayah boleh ambil "si Ratu" boneka kuda dari nenek... ! Itu kesayanganku juga"
"Ya sudahlah sayang,... ngga apa-apa !". Ayah mencium pipi Anisa sebelum keluar dari kamar Anisa.

Kira-kira seminggu berikutnya, setelah selesai membacakan cerita, Ayah bertanya lagi, "Anisa..., Anisa sayang nggak sih, sama Ayah ?"
"Ayah, Ayah tahu bukan kalau Anisa sayang sekali pada Ayah ?".
"Kalau begitu, berikan pada Ayah kalung mutiaramu."
"Jangan Ayah... Tapi kalau Ayah mau, Ayah boleh ambil boneka Barbie ini.. "
Kata Anisa seraya menyerahkan boneka Barbie yang selalu menemaninya bermain.

Beberapa malam kemudian, ketika Ayah masuk kekamarnya, Anisa sedang duduk diatas tempat tidurnya. Ketika didekati, Anisa rupanya sedang menangis diam-diam.
Kedua tangannya tergenggam di atas pangkuan. Dari matanya,mengalir bulir-bulir air mata membasahi pipinya...
"Ada apa Anisa, kenapa Anisa ?"

Tanpa berucap sepatah pun, Anisa membuka tangannya. Di dalamnya melingkar cantik kalung mutiara kesayangannya " Kalau Ayah mau... ambillah kalung Anisa"

Ayah tersenyum mengerti, diambilnya kalung itu dari tangan mungil Anisa. Kalung itu dimasukkan ke dalam kantong celana. Dan dari kantong yang satunya, dikeluarkan sebentuk kalung mutiara putih... sama cantiknya dengan kalung yang sangat disayangi Anisa...
"Anisa... ini untuk Anisa. Sama bukan ? Memang begitu nampaknya, tapi kalung ini tidak akan membuat lehermu menjadi hijau"

Ya..., ternyata Ayah memberikan kalung mutiara asli untuk menggantikan kalung mutiara imitasi Anisa.

Demikian pula halnya dengan Allah S.W.T.. Terkadang Dia meminta sesuatu dari kita, karena Dia berkenan untuk menggantikannya dengan yang lebih baik. Bahkan, Allah menggantikannya dengan kebaikan yang berkali-lipat yang tidak dapat kita ukur. Namun, kadang-kadang kita seperti atau bahkan lebih naif dari Anisa : Menggenggam erat sesuatu yang kita anggap amat berharga, dan oleh karenanya tidak ikhlas bila harus kehilangan...

Untuk itulah perlunya sikap ikhlas, karena kita yakin tidak akan Allah mengambil sesuatu dari kita jika tidak akan menggantinya dengan yang lebih baik.

Hari-Hari Terakhir Rasulullah

Detik-detik Rasulullah S.A.W. menjelang sakratul maut

Ada sebuah kisah tentang totalitas cinta yang dicontohkan Allah lewat kehidupan Rasul-Nya. Pagi itu, meski langit telah mulai menguning, burung-burung gurun enggan mengepakkan sayap. Pagi itu, Rasulullah dengan suara terbata memberikan petuah, "Wahai umatku, kita semua ada dalam kekuasaan Allah dan cinta kasih-Nya. Maka taati dan bertakwalah kepada-Nya. Kuwariskan dua hal pada kalian, sunnah dan Al Qur'an.

Barang siapa mencintai sunnahku, berati mencintai aku dan kelak orang-orang yang mencintaiku, akan bersama-sama masuk surga bersama aku. " Khutbah singkat itu diakhiri dengan pandangan mata Rasulullah yang teduh menatap sahabatnya satu persatu. Abu Bakar menatap mata itu dengan berkaca-kaca, Umar dadanya naik turun menahan napas dan tangisnya.

Ustman menghela napas panjang dan Ali menundukkan kepalanya dalam-dalam. Isyarat itu telah datang, saatnya sudah tiba. "Rasulullah akan meninggalkan kita semua, " desah hati semua sahabat kala itu. Manusia tercinta itu, hampir usai menunaikan tugasnya di dunia. Tanda-tanda itu semakin kuat, tatkala Ali dan Fadhal dengan sigap menangkap Rasulullah yang limbung saat turun dari mimbar.

Saat itu, seluruh sahabat yang hadir di sana pasti akan menahan detik-detik berlalu, kalau bisa. Matahari kian tinggi, tapi pintu Rasulullah masih tertutup. Sedang di dalamnya, Rasulullah sedang terbaring lemah dengan keningnya yang berkeringat dan membasahi pelepah kurma yang menjadi alas tidurnya.

Tiba-tiba dari luar pintu terdengar seorang yang berseru mengucapkan salam. "Bolehkah saya masuk?" tanyanya. Tapi Fatimah tidak mengizinkannya masuk, "Maafkanlah, ayahku sedang demam, " kata Fatimah yang membalikkan badan dan menutup pintu. Kemudian ia kembali menemani ayahnya yang ternyata sudah membuka mata dan bertanya pada Fatimah, "Siapakah itu wahai anakku?" "Tak tahulah aku ayah, sepertinya ia baru sekali ini aku melihatnya, " tutur Fatimah lembut. Lalu, Rasulullah menatap putrinya itu dengan pandangan yang menggetarkan. Satu-satu bagian wajahnya seolah hendak di kenang. "Ketahuilah, dialah yang menghapuskan kenikmatan sementara, dialah yang memisahkan pertemuan di dunia.

Dialah malakul maut, " kata Rasulullah, Fatimah pun menahan ledakkan tangisnya. Malaikat maut datang menghampiri, tapi Rasulullah menanyakan kenapa Jibril tak ikut menyertai. Kemudian dipanggilah Jibril yang sebelumnya sudah bersiap diatas langit dunia menyambut ruh kekasih Allah dan penghulu dunia ini. "Jibril, jelaskan apa hakku nanti dihadapan Allah? "Tanya Rasululllah dengan suara yang amat lemah. "Pintu-pintu langit telah terbuka, para malaikat telah menanti ruhmu. Semua surga terbuka lebar menanti kedatanganmu, "kata jibril.

Tapi itu ternyata tak membuat Rasulullah lega, matanya masih penuh kecemasan. "Engkau tidak senang mendengar kabar ini? "Tanya Jibril lagi. "Kabarkan kepadaku bagaimana nasib umatku kelak?" "Jangan khawatir, wahai Rasul Allah, aku pernah mendengar Allah berfirman kepadaku: 'Kuharamkan surga bagi siapa saja, kecuali umat Muhammad telah berada didalamnya, " kata Jibril. Detik-detik semakin dekat, saatnya Izrail melakukan tugas. Perlahan ruh Rasulullah ditarik Tampak seluruh tubuh Rasulullah bersimbah peluh, urat-urat lehernya menegang.
"Jibril, betapa sakit sakaratul maut ini. " Lirih Rasulullah mengaduh.

Fatimah terpejam, Ali yang di sampingnya menunduk semakin dalam dan Jibril membuang muka. "Jijikkah kau melihatku, hingga kaupalingkan wajahmu Jibril? "Tanya Rasulullah pada Malaikat pengantar wahyu itu. "

Siapakah yang tega, melihat kekasih Allah direnggut ajal, " kata Jibril. Sebentar kemudian terdengar Rasulullah memekik, karena sakit yang tak tertahankan lagi. "Ya Allah, dahsyat niat maut ini, timpakan saja semua siksa maut ini kepadaku, jangan pada umatku. " Badan Rasulullah mulai dingin, kaki dan dadanya sudah tak bergerak lagi.

Bibirnya bergetar seakan hendak membisikkan sesuatu, Ali segera mendekatkan telinganya. "Uushiikum bis shalati, wa maa malakat aimanuku, peliharalah shalat dan santuni orang-orang lemah di antaramu. "

Di luar pintu tangis mulai terdengar bersahutan, sahabat saling berpelukan. Fatimah menutupkan tangan diwajahnya, dan Ali kembali mendekatkan telinganya ke bibir Rasulullah yang mulai kebiruan.
"Ummatii, ummatii, ummatiii?" - "Umatku, umatku, umatku" Dan, pupuslah kembang hidup manusia mulia itu. Kini, mampukah kita mencinta sepertinya?
Allahumma sholli 'ala Muhammad wa baarik wasalim 'alaihi.

Khalid Bin Walid

" ORANG seperti dia, tidak dapat tanpa diketahui dibiarkan begitu saja. Dia harus diincar sebagai calon pemimpin Islam. Jika dia menggabungkan diri dengan kaum Muslimin dalam peperangan melawan orang-orang kafir, kita harus mengangkatnya kedalam golongan pemimpin" demikian keterangan Nabi ketika berbicara tentang Khalid sebelum calon pahlawan ini masuk Islam.

Khalid dilahirkan kira-kira 17 tahun sebelum masa pembangunan Islam. Dia anggota suku Bani Makhzum, suatu cabang dari suku Quraisy. Ayahnya bernama Walid dan ibunya Lababah. Khalid termasuk di antara keluarga Nabi yang sangat dekat. Maimunah, bibi dari Khalid, adalah isteri Nabi. Dengan Umar sendiri pun Khalid ada hubungan keluarga, yakni saudara sepupunya. Suatu hari pada masa kanak-kanaknya kedua saudara sepupu ini main adu gulat. Khalid dapat mematahkan kaki Umar. Untunglah dengan melalui suatu perawatan kaki Umar dapat diluruskan kembali dengan baik.
Ayah Khalid yang bernama Walid, adalah salah seorang pemimpin yang paling berkuasa di antara orang-orang Quraisy. Dia sangat kaya. Dia menghormati Ka'bah dengan perasaan yang sangat mendalam. Sekali dua tahun dialah yang menyediakan kain penutup Ka'bah. Pada masa ibadah Haji dia memberi makan dengan cuma-cuma bagi semua orang yang datang berkumpul di Mina.

Ketika orang Quraisy memperbaiki Ka'bah tidak seorang pun yang berani meruntuhkan dinding-dindingnya yang tua itu. Semua orang takut kalau-kalau jatuh dan mati. Melihat suasana begini Walid maju ke depan dengan bersenjatakan sekop sambil berteriak, "Oh, Tuhan jangan marah kepada kami. Kami berniat baik terhadap rumahMu".
Nabi mengharap-harap dengan sepenuh hati, agar Walid masuk Islam. Harapan ini timbul karena Walid seorang kesatria yang berani di mata rakyat. Karena itu dia dikagumi dan dihormati oleh orang banyak. Jika dia telah masuk Islam ratusan orang akan mengikutinya

Dalam hati kecilnya Walid merasa, bahwa Al Qur-'an itu adalah kalimat-kalimat Allah. Dia pernah mengatakan secara jujur dan terang-terangan, bahwa dia tidak bisa berpisah dari keindahan dan kekuatan ayat-ayat suci itu.

Ucapan yang terus terang ini memberikan harapan bagi Nabi, bahwa Walid akan segera masuk Islam. Tetapi impian dan harapan ini tak pernah menjadi kenyataan. Kebanggaan atas diri sendiri membendung bisikan-bisikan hati nuraninya. Dia takut kehilangan kedudukannya sebagai pemimpin bangsa Quraisy. Kesangsian ini menghalanginya untuk menurutkan rayuan-rayuan hati nuraninya. Sayang sekali orang yang begini baik, akhirnya mati sebagai orang yang bukan Islam.

Suku Bani Makhzum mempunyai tugas-tugas penting. Jika terjadi peperangan, Bani Muhzum lah yang mengurus gudang senjata dan gudang tenaga tempur. Suku inilah yang mengumpulkan kuda dan senjata bagi prajurit-prajurit.
Tidak ada cabang suku Quraisy lain yang bisa lebih dibanggakan seperti Bani Makhzum. Ketika diadakan kepungan maut terhadap orang-orang Islam di lembah Abu Thalib, orang-orang Bani Makhzum lah yang pertama kali mengangkat suaranya menentang pengepungan itu.

Latihan Pertama

Kita tidak banyak mengetahui mengenai Khalid pada masa kanak-kanaknya. Tetapi satu hal kita tahu dengan pasti, ayah Khalid orang berada. Dia mempunyai kebun buah-buahan yang membentang dari kota Mekah sampai ke Thaif. Kekayaan ayahnya ini membuat Khalid bebas dari kewajiban-kewajibannya.

Dia lebih leluasa dan tidak usah belajar berdagang. Dia tidak usah bekerja untuk menambah pencaharian orang tuanya. Kehidupan tanpa suatu ikatan memberi kesempatan kepada Khalid mengikuti kegemarannya. Kegemarannya ialah adu tinju dan berkelahi.
Saat itu pekerjaan dalam seni peperangan dianggap sebagai tanda seorang Satria. Panglima perang berarti pemimpin besar. Kepahlawanan adalah satu hal terhormat di mata rakyat.

Ayah Khalid dan beberapa orang pamannya adalah orang-orang yang terpandang di mata rakyat. Hal ini memberikan dorongan keras kepada Khalid untuk mendapatkan kedudukan terhormat, seperti ayah dan paman-pamanya. Satu-satunya permintaan Khalid ialah agar menjadi orang yang dapat mengatasi teman-temannya di dalam hal adu tenaga. Sebab itulah dia menceburkan dirinya kedalam seni peperangan dan seni bela diri. Malah mempelajari keahlian mengendarai kuda, memainkan pedang dan memanah. Dia juga mencurahkan perhatiannya ke dalam hal memimpin angkatan perang. Bakat-bakatnya yang asli, ditambah dengan latihan yang keras, telah membina Khalid menjadi seorang yang luar biasa. Kemahiran dan keberaniannya mengagumkan setiap orang.
Pandangan yang ditunjukkannya mengenai taktik perang menakjubkan setiap orang. Dengan gamblang orang dapat melihat, bahwa dia akan menjadi ahli dalam seni kemiliteran.
Dari masa kanak-kanaknya dia memberikan harapan untuk menjadi ahli militer yang luar biasa senialnya.

Menentang Islam

Pada masa kanak-kanaknya Khalid telah kelihatan menonjol diantara teman-temannya. Dia telah sanggup merebut tempat istimewa dalam hati rakyat. Lama kelamaan Khalid menanjak menjadi pemimpin suku Quraisy. Pada waktu itu orang-orang Quraisy sedang memusuhi Islam. Mereka sangat anti dan memusuhi agama Islam dan penganut-penganut Islam. Kepercayaan baru itu menjadi bahaya bagi kepercayaan dan adat istiadat orang-orang Quraisy. Orang-orang Quraisy sangat mencintai adat kebiasaannya. Sebab itu mereka mengangkat senjata untuk menggempur orang-orang Islam. Tunas Islam harus dihancurkan sebelum tumbuh berurat berakar. Khalid sebagai pemuda Quraisy yang berani dan bersemangat berdiri digaris paling depan dalam penggempuran terhadap kepercayaan baru ini. Hal ini sudah wajar dan seirama dengan kehendak alam.
Sejak kecil pemuda Khalid bertekad menjadi pahlawan Quraisy. Kesempatan ini diperolehnya dalam pertentangan-pertentangan dengan orang-orang Islam. Untuk membuktikan bakat dan kecakapannya ini, dia harus menonjolkan dirinya dalam segala pertempuran. Dia harus memperlihatkan kepada sukunya kwalitasnya sebagai pekelahi.

Peristiwa Uhud

Kekalahan kaum Quraisy di dalam perang Badar membuat mereka jadi kegila-gilaan, karena penyesalan dan panas hati. Mereka merasa terhina. Rasa sombong dan kebanggaan mereka sebagai suku Quraisy telah meluncur masuk lumpur kehinaan Arang telah tercoreng di muka orang-orang Quraisy. Mereka seolah-olah tidak bisa lagi mengangkat dirinya dari lumpur kehinaan ini. Dengan segera mereka membuat persiapan-persiapan untuk membalas pengalaman pahit yang terjadi di Badar.

Sebagai pemuda Quraisy, Khalid bin Walid pun ikut merasakan pahit getirnya kekalahan itu. Sebab itu dia ingin membalas dendam sukunya dalam peperangan Uhud. Khalid dengan pasukannya bergerak ke Uhud dengan satu tekad menang atau mati. Orang-orang Islam dalam pertempuran Uhud ini mengambil posisi dengan membelakangi bukit Uhud.
Sungguhpun kedudukan pertahanan baik, masih terdapat suatu kekhawatiran. Di bukit Uhud masih ada suatu tanah genting, di mana tentara Quraisy dapat menyerbu masuk pertahanan Islam. Untuk menjaga tanah genting ini, Nabi menempatkan 50 orang pemanah terbaik. Nabi memerintahkan kepada mereka agar bertahan mati-matian. Dalam keadaan bagaimana jua pun jangan sampai meninggalkan pos masing-masing.

Khalid bin Walid memimpin sayap kanan tentara Quraisy empat kali lebih besar jumlahnya dari pasukan Islam. Tetapi mereka jadi ragu-ragu mengingat kekalahan-kekalahan yang telah mereka alami di Badar. Karena kekalahan ini hati mereka menjadi kecil menghadapi keberanian orang-orang Islam.

Sungguh pun begitu pasukan-pasukan Quraisy memulai pertempuran dengan baik. Tetapi setelah orang-orang Islam mulai mendobrak pertahanan mereka, mereka telah gagal untuk mempertahankan tanah yang mereka injak.

Kekuatannya menjadi terpecah-pecah. Mereka lari cerai-berai. Peristiwa Badar berulang kembali di Uhud. Saat-saat kritis sedang mengancam orang-orang Quraisy. Tetapi Khalid bin Walid tidak goncang dan sarafnya tetap membaja. Dia mengumpulkan kembali anak buahnya dan mencari kesempatan baik guna melakukan pukulan yang menentukan.

Melihat orang-orang Quraisy cerai-berai, pemanah-pemanah yang bertugas ditanah genting tidak tahan hati. Pasukan Islam tertarik oleh harta perang, harta yang ada pada mayat-mayat orang-orang Quraisy. Tanpa pikir panjang akan akibatnya, sebagian besar pemanah-pemanah, penjaga tanah genting meninggalkan posnya dan menyerbu kelapangan.

Pertahanan tanah genting menjadi kosong. Khalid bin Walid dengan segera melihat kesempatan baik ini. Dia menyerbu ketanah genting dan mendesak masuk. Beberapa orang pemanah yang masih tinggal dikeroyok bersama-sama. Tanah genting dikuasai oleh pasukan Khalid dan mereka menjadi leluasa untuk menggempur pasukan Islam dari belakang.

Dengan kecepatan yang tak ada taranya Khalid masuk dari garis belakang dan menggempur orang Islam di pusat pertahanannya. Melihat Khalid telah masuk melalui tanah genting, orang-orang Quraisy yang telah lari cerai-berai berkumpul kembali dan mengikuti jejak Khalid menyerbu dari belakang. Pemenang-pemenang antara beberapa menit yang lalu, sekarang telah terkepung lagi dari segenap penjuru, dan situasi mereka menjadi gawat.

Khalid bin Walid telah merobah kemenangan orang Islam di Uhud menjadi suatu kehancuran. Mestinya orang-orang Quraisylah yang kalah dan cerai-berai. Tetapi karena gemilangnya Khalid sebagai ahli siasat perang, kekalahan-kekalahan telah disunglapnya menjadi satu kemenangan. Dia menemukan lobang-lobang kelemahan pertahanan orang Islam.
Hanya pahlawan Khalid lah yang dapat mencari saat-saat kelemahan lawannya. Dan dia pula yang sanggup menarik kembali tentara yang telah cerai-berai dan memaksanya untuk bertempur lagi. Seni perangnya yang luar biasa inilah yang mengungkap kekalahan Uhud menjadi suatu kemenangan bagi orang Quraisy.

Ketika Khalid bin Walid memeluk Islam Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam sangat bahagia, karena Khalid mempunyai kemampuan berperang yang dapat digunakan untuk membela Islam dan meninggikan kalimatullah dengan perjuangan jihad. Dalam banyak kesempatan peperangan Islam Khalid bin Walid diangkat menjadi komandan perang dan menunjukan hasil gemilang atas segala upaya jihadnya. Betapapun hebatnya Khalid bin Walid di dalam medan pertempuran, dengan berbagai luka yang menyayat badannya, namun ternyata kematianya di atas ranjang. Betapa menyesalnya Khalid harapan untuk mati sahid di medan perang ternyata tidak tercapai dan Allah menghendakinya mati di atas tempat tidur, sesudah perjuangan membela Islam yang luar biasa itu. Demikianlah kekuasaan Allah. Manusia berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya sesuai dengan kemaua-Nya.

Mengamalkan Teori Ukhuwah

dakwatuna.com - Seorang teman saya pernah menceritakan keheranannya terhadap teman-teman pengajiannya. “Saya bingung pada mereka, guru mereka ada di rumah sakit sudah beberapa pekan, namun mereka belum mengunjungi juga”, keluh teman tadi. “Apa anda tidak mengingatkan mereka tentang keadaan guru kalian”, ungkap saya. “Tidak tahulah saya pada mereka. Sepertinya mereka sibuk sekali pada urusannya masing-masing”, jawabnya lirih. “Apakah sesibuk itu mereka hingga seredup itu perasaan kemanusiaannya”, selidik saya.

Lain waktu saya berkesempatan mengunjungi rumah seorang teman sambil membawa sedikit bingkisan. Rupanya dia sangat gembira sekali dengan kunjungan saya ini. “Saya bersyukur sekali hari ini. Pertama, mendapatkan kunjungan dari antum, setelah lama tidak ada teman yang mengunjungi saya. Rasanya saya seperti terlempar dari pergaulan teman-teman. Tapi dengan kunjungan ini saya merasa ditarik kembali. Kedua, antum membawa bingkisan. Barang kali bingkisan itu kecil nilainya tapi sangat berarti bagi saya. Karena sudah beberapa hari keluarga saya hanya memakan ubi-ubian”. Paparnya. Saya terharu sekali mendengarkan pemaparan yang memilukan itu. Timbul pertanyaan besar: Kemana teman-temannya?

Pengalaman di atas sebenarnya mungkin banyak sekali kita jumpai dengan beraneka ragam cerita. Semuanya akan berujung pada tanda tanya, sebegitu redupkah tali persaudaraan yang kita miliki saat ini. Sebegitu keringkah telaga ukhuwah sesama aktivis dakwah.

Keadaan ini menjadi perhatian dalam diri saya apakah ini sebuah fenomena ataukah kasuistik saja. Memang kita harus akui bahwa kekeringan ruhaniyah di hati kader akan berakibat kekeringan dalam muamalah antar mereka. Muamalah yang kering merupakan preseden buruk bagi pembentukan opini publik tentang manisnya ukhuwah Islam. Serta buramnya potret keindahan tatanan dan perilaku masyarakat Islam di masa lalu bila dipraktekkan pada zaman kiwari.

Potret ukhuwah islamiyah yang telah dilakoni para pendahulu menggores kesan mendalam yang teramat indah bagi peradaban manusia. Bagaimana tidak, seseorang rela mati demi saudaranya. Mereka lebih memilih lapar bagi dirinya daripada saudaranya yang lapar. Mereka lebih mendahulukan kepentingan orang lain dari kepentingan diri mereka sendiri meskipun mereka teramat membutuhkannya. Mereka sangat menjaga kehormatan dirinya ketimbang harus menjadi orang yang rakus lagi terhina.

“Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum kedatangan mereka (kaum Muhajirin) mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keingan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (kaum Muhajirin) dan mereka mengutamakan orang-orang Muhajirin atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan apa yang mereka berikan itu. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung” (Al-Hasyr: 9)

Berbicara ukhuwah memang tidak sekedar teori melainkan nilai-nilai mulia yang mesti diimplementasikan dengan jiwa besar. Karena ia bukan hanya ucapan melainkan ia adalah amalan. Bahkan bukan sekedar amalan biasa tetapi amalan yang dikaitkan dengan kondisi keimanan pelakunya.

Iman Landasan Persaudaraan Islam

Ukhuwah islamiyah tidaklah sama dengan cita rasa humanisme seperti yang dipahami banyak orang. Sehingga mereka melakukan suatu kebaikan lantaran faktor humanisme, tidak dikaitkan dengan nilai-nilai moralitas yang tertanam dari benih ideologi samawiyah. Akan tetapi ukhuwah islamiyah merupakan manivestasi keimanan pelakunya. Keimanan yang stabil senantiasa memproduk amal khairiyah dan merealisasikannya dalam bentuk nyata tatkala bermuamalah dengan banyak manusia, sebaliknya keimanan yang labil dapat menghambat produktivitas amal tersebut.

Hubungan personal ketika bermuamalah pada sesama muslim memang tidak diikat pada simpul-simpul kesatuan aktivitas manusia dalam kesehariannya. Mereka tidak disatukan karena motivasi materi, kesukuan, kondisi temporer yang mereka alami. Melainkan hubungan mereka diikat oleh keimanan. Keimananlah yang menjadi pijakan muamalah mereka. Keimanan ini melandasi hubungan mereka yang teramat indah itu. Wihdatul aqidah itulah jawabannya. Menjadi kewajiban setiap kader untuk membangun bangunan keimanan yang kokoh agar dapat merefleksikannya dalam berinteraksi antar sesama.

Ketika banyak orang mengaitkan sikap persaudaraan pada nasab, kesukuan, kedaerahan serta ashabiyah lainnya. Rasulullah SAW. menepisnya dengan mengatakan: “Salman adalah keluargaku”.

Nyata betul prinsip Islam ini. Tidak tidak dapat dibatasi oleh dinding setebal apapun. Karena keimanan yang menjadi landasannya juga tidak dapat dibatasi oleh batasan apapun. Karena itu pancaran persaudaran berasal dari cahaya keimanan si pemiliknya.

Kepekaan Ukhuwah

Keimanan yang selalu bersinar terang akan menyalakan kepekaan ukhuwah. Hasasiyah ukhuwah ini akan semakin dinamis bila dilakukan dua arah. Sehingga semua pihak menahan diri untuk hanya menikmati ukhuwah orang lain. Akan tetapi masing-masing pihak berupaya untuk dapat menyenangkan khalayak sekitarnya. Menjadi kepuasan bagi dirinya apabila kelebihannya dapat dicicipi oleh banyak orang.

Lihatlah sejarah manusia-manusia pilihan yang telah mengukir indahnya peradaban orang-orang yang beriman. Mereka tidak bakhil pada orang lain akan kelebihan dirinya. Mereka tidak pula celamitan pada kebaikan orang lain. Mereka merasa bahagia apabila orang lain merasakan kebaikannya. Dan mereka terhina apabila orang lain terepotkan lantaran dirinya .

Pagi-pagi Rasulullah SAW. tersenyum melihat seorang sahabat yang telah membuktikan sikap ukhuwahnya pada saudaranya yang lain. Beliau mendapatkan informasi bahwa sahabat tersebut menjamu tamunya dengan hidangan yang diperuntukkan keluarganya. Agar tamunya berselera menyantap hidangannya, dia matikan lampu rumah sehingga makanan yang disajikan tidak tampak pada sang tamu. Hal itu dilakukan untuk menghilangkan rasa sungkan tamunya untuk menyantap makanan tersebut. Lantaran porsi hidangan yang tersedia hanya cukup untuk seorang. Untuk menyenangkan hati tamunya, tuan rumah berpura-pura sedang menyantap makanan tersebut bersama-sama dengan lahap. Sikap inilah yang mendapatkan senyuman malaikat dan membuat senang hati Rasulullah SAW.

Juga ketika Rasulullah SAW. membangun Madinah sebagai sentral aktivitas muslim, beliau mempersaudarakan sahabat Muhajirin dan Anshar. Di antaranya Abdurrahman bin Auf RA. dipersaudarakan dengan Saad bin Rabi’i RA. Dengan hati yang tulus Saad bin Rabi’ mengatakan: “Aku memiliki beberapa perniagaan silahkan ambil yang kau cenderungi. Dan aku mempunyai beberapa isteri silahkan lihat mana yang menarik hatimu. Akan aku ceraikan dia dan nikahilah setelah selesai masa iddahnya”. “Semoga Allah senantiasa memberkahi dirimu dan keluargamu, terima kasih atas penawaranmu. Akan tetapi lebih baik bagiku tunjukkanlah padaku dimana pasar?” Jawab Abdurrahman bin Auf RA.

Betapa manisnya kehidupan orang-orang yang beriman. Mereka dapat memposisikan dirinya secara tepat. Mereka dapat merasakan kesusahan dan kebahagiaan saudaranya. Mereka tahu betul apa yang mesti dilakukan untuk orang lain. Mereka merasa bersedih apabila tidak mampu berbuat banyak untuk orang lain.