Thursday, July 23, 2009

“HATMIYYAH AT-TARBIYYAH”

Adalah Abdulloh bin Rowahah RA, seorang sahabat yang ketika diangkat oleh Rosululloh SAW menduduki sebuah jabatan panglima dalam perang Mu’tah, Ia menerimanya dengan tangis dan cucuran air mata. Lalu para sahabat lainnya bertanya: “Maa yubkika ya… Abdalloh…” (Apa gerangan yang membuat engkau menangis wahai Abdulloh…), Iapun menjawab: “Wa maa bia hubbuddunya walaa shabaabatan bikum walaakin tadzakkartu hina dzakaranii Rosulullohu biqoulihi ta’ala: Wa in minkum illaa waariduhaa kaana alaa Rabbika Hatman Maqdhiyya” (Tidak ada pada diriku cinta dunia dan keinginan untuk dielu-elukan oleh kalian, akan tetapi aku hanya teringat ketika Rosululloh mengingatkanku dengan firman Alloh SWT: “Dan tidaklah dari kalain melainkan akan mendatanginya (neraka jahannam) adalah yang demikian itu bagi Tuhanmu (ya! Muhammad) merupakan ketentuan yang telah ditetapkan”. (QS. Maryam: 71).

Dari ungkapan Abdulloh bin Rowahah tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa beliau mentadabburkan ayat al-qur’an begitu dalam, sehingga beliau mengaitkan erat ayat tersebut dengan amanah jabatan yang baru saja dipangkuanya, apakah jabatannya kelak dapat menyelamatkannya ketika masing-masing orang mau tidak mau harus melewati “Shirothol Mustaqim”, karena menghadapi neraka Jahannam dengan melewatinya adalah “Hatman Maqdhiyya”, ketentuan yang telah ditetapkan, tidak ada jalan alternatif lain dan tidak bisa ditawar-tawar lagi.

“Hatman Maqdhiyya” juga berlaku dalam kaidah Tarbiah sebagai sebuah proses dalam proyek kebangkiatan umat dan pembangunan peradaban, oleh karenanya Tarbiyah memiliki sifat “Hatmiyyah”, sifat keniscayaan, dengan kata lain bahwa Tarbiyah suatu keniscayaan adala sebuah keharusan, atau ketentuan yang harus dipenuhi, konsekwensi yang harus dijalankan, tidak dapat ditawar dan tidak bisa tergantikan dengan apapun. Walhasil untuk dapat istiqomah di jalan da’wah serta mencapai target dan sasarannya, hanya ada satu jalan: Tarbiah!. Karena Tarbiyah adalah jalan yang dikehendaki oleh Alloh SWT untuk diikuti ( QS. 6: 153 ), dalam rangka melahirkan kader-kader generasi Rabbani (Generasi-generasi yang tertarbiyah) yang senantiasa antusias mengajarkan Al-qur’an dan mempelajarinya ( QS. 3: 79).

Tarbiyah suatu keniscayaan dalam prosesnya dapat dilakukan minimal dengan tiga buah pendekatan.

Pendekatan Idealis

Tarbiyah adalah jalan bagi para Da’i Islam, tidak ada jalan lain, atau dengan kata lain jalan para da’i adalah jalan tarbawi yang memiliki paling sedikit tiga karakter mendasar.

Pertama: Sulit tapi hasilnya paten ( Sha’bun – Tsabit )

Sulitnya sebuah proses biasanya membuahkan hasil yang berkualitas, oleh karena itu proses da’wah yang dilakukan oleh Rosululloh SAW, bukanlah perkara yang mudah, bayangkan, lima tahun pertama dalam da’wahnya di Mekkah baru hanya terkumpul “Arba’una rojulan wa khomsu niswatin” (40 laki-laki dan 5 wanita), akan tetapi ke 45 orang inilah yang kemudian menjadi ujung tombak da’wah, yang tidak hanya “Qaabilun lidda’wah” tetapi juga “Qaabilun litthagyir”, bahkan mereka seluruhnya menjadi “Anashiruttaghyir”, “Agen of change”, agen perubahan sosial dari masyarakat jahiliyah menuju masyarakat yang islami.

Berda’wah memang tidak mudah, karena berda’wah melalui proses Tarbiyah ibarat menanam pohon jati, yang harus senantiasa dijaga dan dipelihara sehingga akarnya tetap kuat menghunjam dan tidak goyah diterpa badai dan angin kencang, oleh karena itu jalan tarbawi adalah proses menuju pembentukan pribadi yang paten, atau dengan kata lain memiliki “matanah” (imunitas) baik secara “ma’nawiyah” (moral), “fikriyah” (gagasan dan pemikiran) dan “Tandzhimiyah” (struktural).

Ka’ab bin malik RA. Adalah salah satu contoh dari sebuah kepribadian yang paten, yang dengan kesadaran ma’nawiyah, fikriyah dan tandhimiyahnya, Ia mengakui kelalaiannya tidak turut serta dalam perang Tabuk, dan kemudian iapun dengan ikhlas menerima ‘uqubah (sanksi) yang telah ditetapkan oleh Rosululloh SAW. Bahkan ketika datang utusan dari kerajaan Ghassan yang secara diam-diam menemuinya untuk menyampaikan sepucuk surat dari raja Ghassan yang isinya antara lain suaka poltik dan jabatan penting telah tersedia untuknya bila Ia mau eksodus, Ia malah berkata seraya merobek surat tersebut: “Ayyu Mushibatin Hadzihi” (Musibah apa lagi ini..!)

Itulah sebuah refleksi dari sikap matanah yang hanya bisa dihasilkan melalu proses tarbiyah yang tidak mudah, melalui jalan da’wah yang terkonsep secara paten, Al-Qur’an menyebutnya dengan “Al-Qoulu Al-Tsabit” (QS. 14: 27 ), yang terumuskan di atas konsep yang baik atau “Kalimat Thayyibah” bukan “kalimat khabitsah” (QS. 14: 25 - 26 ).


Kedua: Panjang tetapi terjaga keasliannya (Thawil - Ashil)

Da’wah adalah perjalanan panjang, perjalanan yang dilalui tidak hanya oleh satu generasi, bahkan untuk dapat mencapai target dan sasaran jangka panjangnya membutuhkan beberapa generasi, Ingatlah ketika Rosululloh SAW mengayunkan palu memecahkan bebatuan parit Khandaq, ada percikan apai keluar dari sela-sela hantaman palu dan batu memercik ke arah timur, lalu beliau mengisyaratkan bahwa umatnya kelak akan dapat menaklukan Romawi (Byzantium). Padahal Romawi baru dapat di Taklukan oleh umat Islam pada masa daulah Utsmaniyah sekian abad sesudahnya, berapa generasi yang telah telampaui dan berapa panjang perjalanan da’wah yang telah dilalui?, akan tetapi ikhwah fillah betapaun telah melewati sekian banyak generasi, “Asholah” tetap terjaga, “Hammasah” tetap terpelihara, Islam yang sampai ke Romawi adalah Islam sebagaimana yang dijalankan oleh generasi pertamanya yaitu Rosululloh SAW dan Para sahabat Rodhiallohu ‘anhum wa rodhuu’anhu.


Kepribadian yang asholah adalah kepribadian yang telah teruji dengan panjangngnya mata rantai perjalanan da,wah, keperibadian yang hammasah adalah kepribadian yang tak lekang kerena ‘panas’ dan tak lapuk karena ‘hujan’, sebagai ujian dan cobaan dalam perjalanan da’wah.

Adalah Abu Thalhah RA, salah seoarang sahabat yang Alloh SWT berikan kepadanya umur yang panjang, sehingga beliau masih hidup pada masa kekhalifahan Utsman RA, beliau yang saat itu usianya sudah sepuh, ketika ada seruan jihad maritim, mengarungi lautan menuju perairan Yunani untuk mrnghadapi pasukan Romawi, seruan jihad berkumandang melalui lantunan ayat-ayat Al-Qur’an “Infiruu khifafan wa tsiqoolan” (berangkatlah kalian dalam keadaan ringan maupun berat), lalu anak-anaknya berkata kpadanya: “Sudahlah Ayah tak usah ikut berperang, cukuplah kami saja yang masih muda yang mewakili Ayah di medan perang”, dengan kecerdasan menafsirkan ayat tersebut dibarengi dengan pembawaan“Hikmatussuyukh Hammasatussyabab” Abu Ayyub menjawab: “Tidak bisa, ayat tersebut telah mewajibkan kepada seluruh kaum muslimin baik yang tua maupun yang muda, karena ayat tersebut menyebutkan “khifafan” (ringan) berarti ditujukan untuk ka lian yang masih muda dan “tsiqalan” ditujukan untukku yang sudah tua, maka anak-anaknya pun tak dapat membendung tekad sang ayah, berangkatlah Abu Thalhah RA turut serta dalam peperangan tersebut dan Iapun menemui syahadahnya.

Adalah saad bin Abi Waqqash RA, yang telah menggoreskan kesaksian perjalan da’wah dengan kepribadian yanga asholah yang tidak berubah karena perubahan situasi dan zaman, dari masa-masa yang penuh dengan kesulitan dan penderitaan hingga masa-masa yang penuh dengan kemudahan dan kesenangan, mengenang semua itu beliau berkata: “Aku adalah salah satu dari 7 orang sahabat (dari 10 sahabat yang dijanjikan masuk surga), dahulu kami bersama Rosullloh SAW dalam sebuah ekspedisi, kami tidak memiliki makanan, sehingga kami makan daun-daunan sampai perih tenggorokan kami, akan tetapi sekarang kami yang tujuh orang ini seluruhnya menjadi gubernur di beberapa daerah, maka kami berlindung kepada Alloh SWT agar tidak menjadi orang yang merasa besar di tengah-tengah manusia tetapi menjadi kecil di sisi Alloh SWT”.


Ketiga: Lambat tapi hasilnya terjamin (Bathi’ – Ma’mun)

Da’wah adalah lari estafet bukan sprint, untuk itu diperlukan kesabaran untuk mencapai target dan sasaran dengan kwalitas terjamin, lari estafet memang tampak kelihatan lambat , akan tetapi potensi dan tenaga terdistribusi secara kolektif dan perpaduan kerjasama terarah secara baik untuk memberikan sebuah jaminan kemenanagn di garis finis. Watak perjalanan da’wah yang lambat harus dilihat dari proses dan tahapannya bukan dari perangai para pelakunya, karena perangai yang lambat dalam berda’wah adalah bentuk kelalaian, yang nasab (afiliasi) nya kepada jama’ah kaliber Internasionalpun tidak akan mempercepat langkah kerja da’wahnya, sebagaiman hadits rosululloh SAW: “Man bathi’a ‘amaluhu lam yusra’ bihi nasabuhu” (Barang siapa yang lamban kerjanya, tidak bisa dipercepat dirinya dengan nasabnya).

Salah satu jaminan dari proses tarbiyah adalah melahirkan sebuah kepribadian yang integral, tidak mendua dan tidak terbelah, integritas kepribadian seorang muslim yang ditempa di jalan Tarbawi tercermin pada keteguhan akidahnya, keluhuran akhlaknya , kebersuhan hatinya, kebaikan suluknya baik secara ta’abbudi, ijtima’i maupun tandzhimi.

Keberhasilan sebuah da’wah akan tampak sejauh mana keterjaminannya bila dihadapkan oleh situasi dan kondisi yang menguji integritas kepribadiannya. Sebagaimana halnya ketika terjadi tragedi “Haditsul Ifki” yang menimpa Aisyah radhiallohu anha, banyak orang yang yang tidak terjamin akhlaknya sehingga turut menyebarluaskan fitnah keji tersebut, bandingkan dengan para sahabiyah yang terjamin kualitas tarbawinya, yang menjaga lisannya, yang lebih senang mengedepankan husnudzhannya kepada ummul Mu’minin aisyah RA, cukuplah isteri Abu Ayyub al-anshari mewakili keluarga para shabiyah yang berhati mulia, bagaiman ia mensikapi kasus tersebut dengan penuh rasa ukhuwwah dan mencintai saudaranya karena Alloh SWT.

Berkenaan dengan gunjingan yang menimpa aisyah RA, isteri abu Ayyub al-anshary berkata kepada suaminya: “Ya..Abaa ayyub!, lau kunta sofwaana hal taf’alu bihurmati rasulillaahi suu’an, wa hua khairun minka, Ya…Abaa ayyub lau kuntu ‘Aisyah maa khuntu Rasulallohi abadan” (Wahai abu Ayyub, jika engkau yang menjadi Safwannya apakah engkau berbuat yang tidak-tidak kepada isteri Rosululloh SAW, dan Safwan lebih baik dari engkau. Wahai abu Ayyub, kalau aku yang jadi Aisyah, tidak akan pernah akau menghianati Rasululloh SAW, dan Aisyah lebih baik dariku).

Dengan kata lain isteri Abu Ayyub Al-Anshari RA mengingatkan suaminya bahwa dirinya yang tidak lebih baik dari Shafwan RA saja tidak ada pikiran-pikiran buruk teerhadap Aisyah RA sebagaimana yaang digunjingkan oleh banyak orang, apalagi Shafwan RA yang jauh lebih baik dari suaminya , sehingga mustahil dalam pandangan isteri Abu Ayyub RA Shafwan melakukan hal-hal sebagaimana yang dituduhkan oleh banyak orang. Sebaliknya isteri Abu Ayyub Al-Ansari RA juga berkata kepada dirinya sendiri , bahwa dirinya saja yang tidak merasa lebih baik dari Aisyah RA tidak pernah terlintas untuk tega mengkhianati suami apalagi Aisyah yang dalam pandangannya jelas-jelas jauh lebih baik dari dirinya, sudah barang tentu mustahil terlintas pikiran jelek menghianati suami (berselingkuh) seperti yang digosipkan oleh banyak orang.

Kata-kata isteri abu Ayyub syarat dengan taushiah agar kita menjaga syahwatul lisan, mendahulukan husnu dzhan dan menonjolkan sikap tawaddhu sebagai bukti terjaminnya hasil da’wah.

Pendekatan taktis

Setelah ketiga faktor idealis tersebut diatas telah terealisasi dengan baik, maka langkah berikutnya adalah memetakan langkah-langkah taktis, dengan melakukan program peningkatan kualitas dan kuantitas pertumbuhan kader dan menyelenggarakan “Bi’tsatudduat”. Seperti beberapa orang sahabat yang diutus oleh Rosululloh SAW untuk menda’wahkan dan mengajarkan serta melakukan pembinaan kepada orang-orang yang baru masuk islam, yang telah melampaui wilayah Makkah dan Madinah, seperti Muadz bin Jabal yang diutus ke Yaman dan Khalid bin Walid yang dikirim ke wilayah irak. Hal itu dimaksudkan untuk menyeimbangkan luasnya medan da’wah dengan jumlah kader dan menyelaraskan dukungan masa dengan potensi (kemampuan) tarbiyah.

Pendekatan Strategis


Langkah strategis dalam sebuah perjalanan da’wah yang sangat penting adalah fokus untuk menyusun barisan kader inti, dimana hal ini tidak boleh terabaikan betapapun gegap gempitanya sambutan masyarakat umum terhadap da’wah ini, oleh karena itu untuk menghindari terjadinya “Lose of generation”, atau generasi kader yang lowong, maka segera mendesak untuk dirumuskan sebuah strategi membina kader baru yang sekarang ini semakin kompetitif dengan gerakan-gerakan da’wah lainnya. Semakin banyak jumlah jumlah kader inti disamping kader baru baik secara kwalitas maupun kwantitas akan banyak membantu da’wah ini dalam menghadapi berbagai permasalahan dan ancaman.

Pada masa abu bakar RA, terjadi gelombang pemurtadan yang luar biasa, sehingga 2/3 jazirah arab nyaris mengalami kemurtadan, itu artinya hanya 1/3 wilayah yang selamat yang terdiri dari kota Makkah, Madinah dan Thaif, di ketiga kota inilah kader inti da’wah tetap dijaga dan dipelihara, sedangkan kader-kader baru dibina pada masa Khalifah Umar bin Khattab dimana kebanyakan mereka adalah tawanan perang Riddah pada masa Abu Bakar RA. Terbukti kemudian pada perang Qadisiyah, ketika ancaman imperium Persia menghadang, kader-kader baru yang dibina oleh umar bin khaatab selama kurang lebih satu tahun kebanyakan mereka berada dibarisan paling depan dalam jihad fi sabilillah, dan tak jarang diantara mereka kemudian terkenal sebagai panglima dan komandan pasukan. Itulah hasil sebuah produk tarbiyah (QS, 3: 146).

Wallohu ‘alamu bisshowab

Tuesday, July 7, 2009

Urgensi Kualitas dan Akibat Mengabaikannya

Layaknya seperti seorang petani yang memiliki lahan bercocok tanam yang semakin luas, maka dibutuhkan kuantitas petani yang lebih banyak lagi. Dan supaya pertanian nya memberikan hasil yang memuaskan maka kualitas para petani juga harus diperharikan. Begitu pun dalam dakwah, Kualitas kader dalam kehidupan dakwah harus senantiasa mengikuti kebutuhan marhaliyah dan mihwar dakwah. Semakin meningkat marhalah dan semakin meluas mihwar dakwah, maka kualitas kader pun dituntut untuk semakin berkembang. Bila yang terjadi sebaliknya, maka akan muncul bencana bagi dakwah. Apa bentuk bencana itu?

Pertama, akan muncul kader-kader yang tidak mampu istiqamah di dalam mengikuti irama perjalanan dakwah yang dinamis. Ia akan tersibukkan oleh problem-problem personal dan terjauhkan dari aktifitas dakwah. Ingatlah, ayat yang membuat rambut nabi Muhammad SAW beruban adalah: "Maka istiqamahlah kamu (pada jalan yang benar), sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlak kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan." (QS. 11:112 ). Kesabaran untuk menggapai janji-janji Allah adalah kunci rahasianya. "Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya. Dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini. Dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas." (QS. 18:28).

Kedua, munculnya sebagian kader yang menginginkan kehidupan dakwah sebagai sesuatu yang ringan dan menyenangkan secara duniawi. Mereka menjadi enggan ketika perjalanan dakwah ini begitu panjang dan membutuhkan pengorbanan yang banyak. Mereka cenderung menjadi orang yang ingin "hidup dari dakwah" dan bukan "menghidupi dakwah". Perhatikan peringatan Allah SWT: "Kalau yang kamu serukan kepada mereka itu keuntungan yang mudah diperoleh dan perjalanan yang tidak seberapa jauh, pastilah mereka mengikutimu. Tetapi tempat yang dituju itu amat jauh terasa oleh mereka. Mereka bersumpah dengan (nama) Allah: "Jikalau kami sanggup, tetulah kami berangkat bersamamu". Mereka membinasakan diri mereka sendiri dan Allah mengetahui bahwa mereka sesungguhnya benar-benar orang yang berdusta." (QS. 9:42).

Ketiga, munculnya ketidakmampuan di dalam menjalankan misi dakwah ditengah-tengah masyarakat. Ini karena daya dukung dan daya topang yang dimiliki kader semacam ini, tidak seimbang dengan kebutuhan dan tuntutan dakwah yang semakin terbuka. Allah SWT mengarahkan Rasulullah SAW untuk menyiapkan diri sedemikian rupa agar mampu mengemban misi dakwah yang besar dan berat. "Hai orang yang berselimut. Bangunlah, lalu berilah peringatan! Dan Tuhanmu agungkanlah. Dan pakaianmu bersihkanlah. Dan perbuatan dosa tinggalkanlah. Dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak. Dan untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu, bersabarlah." (QS. 74: 1-7).

Keempat, akibat dari ketiga hal ini, dakwah menjadi disibukkan oleh problematika internal yang menguras energi dakwah, sehingga tidak mampu menjalankan misi-misi perubahan secara efektif. Padahal misi utama dakwah adalah melakukan perubahan dan perbaikan secara nyata. "... Dan aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakal dan hanya kepada-Nya lah aku kembali." (QS. 11:88).

Kelima, akibat ketidakmampuan ini, timbul kesenjangan antara harapan besar masyarakat dengan apa yang bisa diberikan oleh dakwah. Lalu terjadi krisis kredibilitas dan krisis legitimasi. Krisis ini bisa jadi akan diperamai oleh sejumlah kasus-kasus negatif yang muncul ke permukaan. Perhatikan peringatan Allah SWT: "Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan." (QS. 61:2-3).

Terakhir, pada saat semacam itulah, akan muncul pikiran di sebagian kader yang lemah, untuk menarik kembali dakwah ke belakang. Mereka merasa lebih nyaman ketika dakwah ini belum berhadapan langsung dengan masyarakat secara terbuka. Cukuplah pelajaran dari kisah perang Uhud berikut ini: "Orang-orang yang ditinggalkan (tidak ikut berperang) itu, merasa gembira dengan tinggalnya mereka di belakang Rasulullah, dan mereka tidak suka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Dan mereka berkata: "Janganlah kamu berangkat (pergi berperang) dalam panas terik ini". Katakanlah: "Api neraka Jahannam itu lebih sangat panas", jikalau mereka mengetahui." (QS. 9:81). Inilah bencana yang bisa terjadi pada dakwah manakala aspek kualitas diabaikan.

Monday, July 6, 2009

Wasiat Rasulullah SAW agar hidup lebih bermakna

Nabi saw. pernah bersabda kepada Abu Dzar ketika dia menanyakan kepada beliau perihal Shuhuf Ibrahim. beliau saw. menjawab:

“Shuhuf Ibrahim itu seluruhnya berisi permisalan. Diantaranya dikatakan, ‘Wahai penguasa yang tertipu, sesungguhnya Aku tidaklah mengutusmu untuk menghimpun harta kekayaan dari san-sini, tetapi Aku mengutusmu untuk mewakili-Ku dalam mengabulkan doa orang yang dizhalimi. Karena sesungguhnya Aku tidak akan menolaknya, sekalipun dipanjatkan oleh seorang yang kafir.’ Dikatakan juga, ‘Setiap orang yang berakal, selama dia masih bisa mengendalikan akal sehatnya, haruslah mempunyai empat waktu; waktu untuk bermunajat kepada Rabb-nya; waktu untuk memikirkan ciptaan Allah; waktu untuk berdialog dengan dirinya sendiri; dan waktu untuk menyendiri dengan Dzat pemilik keagungan dan kemuliaan. Sesungguhnya, waktu tersebut akan membantu dirinya untuk memanfaatkan waktu-waktu yang lainnya.’ Disebutkan juga, ‘Setiap orang yang berakal, selama dia masih bisa mengendalikan akal sehatnya, tidak akan menempuh perjalanan, kecuali dalam tiga hal, yaitu berbekal untuk menghadapi hari kemudian, mencari kebutuhan hidup, dan menikmati sesuatu yang tidak diharamkan.’ Disebutkan juga, ’setiap orang yang berakal, selama dia masih bisa mengendalikan akal sehatnya, hendaklah memahami betul akan zamannya, memperhatikan keberadaan dirinya, dan menjaga lidahnya. Barangsiapa menganggap perkatan itu sebagai bagian dari amalnya, maka dia akan sangat sedikit berbicara, kecuali dalam hal yang bermakna baginya.”

Aku (Abu Dzar) tanyakan, “Lalu, (ajaran) apa yang terdapat di dalam Shuhuf Musa as.?” Beliau saw. menjawab:

“Seluruhnya berisi pelajaran. Di dalamnya disebutkan, ‘Sungguh mengherankan, ada orang yang yakin akan neraka, bagaimana dia bisa tertawa? Sungguh mengherankan, ada orang yang yakin akan kematian, bagaimana dia masih saja merasa senang? Sungguh mengherankan, ada orang yang melihat dunia dan kebergelimangan penghuninya, namun dia masih saja merasa senang dengannya. Sungguh mengherankan, ada orang yang yakin akan qadar, namun dia masih juga marah. Sungguh mengherankan, ada orang yang yakin akan adanya hisab pada hari esok (hari kiamat), tapi dia tidak juga mau beramal.”

Aku tanyakan lagi kepada beliau, “Apakah masih ada lagi ajaran yang disebutkan di dalam kedua shuhuf tersebut?” Beliau saw. menjawab, “Ya, benar, wahai Abu Dzar. Yaitu, ‘Sungguh beruntung orang yang membersihkan diri.’ (Al A’la: 14), dan seterusnya hingga akhir surat.”

Aku katakan, “Sampaikan wasiat kepadaku!” Beliau saw. menjawab, “Aku wasiatkan kepadamu agar bertakwa kepada Allah karena ia adalah pokok segala urusanmu.”

Aku katakan lagi, “Beri aku tambahan!” Beliau saw. menjawab, “Hendaklah engkau membaca Al Qur’an dan sebutlah allah banyak-banyak, niscaya Dia akan menyebutmu di langit.”

Aku katakan lagi, “Berilah aku tambahan!” Beliau saw. bersabda, “Hendaklah engkau berjihad karena jihad itu rahbaniyah-nya orang-orang beriman.”

Aku katakan lagi, “Berilah aku tambahan!” Beliau saw. bersabda, “Hendaklah engkau (banyak) diam karena sikap diam itu bisa mengusir setan darimu serta menjadi pembantu bagimu dalam urusan agamamu.”

Aku katakan lagi, “Berilah aku tambahan!” Beliau saw. bersabda, “Katakanlah yang benar, sekalipun pahit rasanya!”

Aku katakan lagi, “Berilah aku tambahan!” Beliau saw. bersabda, “Jangan pedulikan celaan orang yang mencelamu dalam melaksanakan agama Allah.”

Aku katakan kepada beliau, “Berilah aku tambahan!” Beliau saw. bersabda, “Sambunglah jalinan kekerabatan, sekalipun mereka telah memutus jalinan tersebut denganmu!”

Aku katakan lagi, “Berilah aku tambahan!” Beliau saw. bersabda, “Cukuplah seseorang itu dianggap jahat apabila dia tidak mengerti tentang dirinya sendiri dan berpayah-payah melakukan apa yang tidak bermakna baginya. Wahai Abu Dzar, tidak ada akal yang lebih baik daripada pengaturan, tidak ada sikap wara’ yang lebih baik daripada pengendalian diri, dan tidak ada kebaikan yang melebihi kebaikan akhlak.”


(HR. Ibnu Hibban)